Breaking News:

Tak Ada TPS di Pulau Sangiang Serang, 15 Warga Seberangi Lautan Demi Pemilu 2024, Perjalanan 1 Jam

Lima belas warga Pulau Sangiang Serang rela seberangi lautan demi pemilu 2024. Tak ada TPS di sana, harus tempuh perjalanan 1 jam ke TPS terdekat.

Editor: Suli Hanna
Kompas
Ilustrasi pemilu - warga Sangiang Serang seberangi lautan demi menggunakan hak pilih saat Pemilu 2024 

"Dirty Vote" persisnya dokumenter eksplanatori yang disampaikan oleh tiga ahli hukum tata negara yang membintangi film ini.

Mereka adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.

Ketiganya menerangkan betapa berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu, sekalipun prosesnya menabrak hingga merusak tatanan demokrasi.

Baca juga: Sosok 3 Pakar Hukum Viral di Film Dirty Vote: Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti dan Feri Amsari

Penggunaan kekuasaan yang kuat dengan infrastruktur yang mumpuni, tanpa malu-malu dipertontonkan secara telanjang di hadapan rakyat demi mempertahankan status quo.

Penjelasan ketiga ahli hukum ini berpijak atas sejumlah fakta dan data.

Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara.

Tiga ahli hukum di film Dirty Vote yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti dan Feri Amsari.
Tiga ahli hukum di film Dirty Vote yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti dan Feri Amsari. (Kolase TribunTrends/Ist)

Sederhananya menurut Bivitri Susanti, film ini sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi negara ini pada suatu saat, di mana kekuasaan disalahgunakan secara begitu terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.

Bercerita tentang dua hal.

Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung.

Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi.

Kedua, tentang kekuasaan yang disalahgunakan.

"Karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis,” kata Bivitri dalam keterangannya, Minggu (11/2/2024).

Baca juga: Heboh! Video Porno Terputar saat Guru Besar ITB Gelar Deklarasi Pemilu Beradab, Siapa Pelakunya?

Bivitri mengingatkan, sikap publik menjadi penting dalam sejarah ini.

Apakah praktik lancung ini akan didiamkan sehingga demokrasi yang berorientasi kekuasaan belaka akan menjadi normal yang baru?

“Atau kita bersuara lantang dan bertindak agar republik yang kita cita-citakan terus hidup dan bertumbuh. Pilihan Anda menentukan,” katanya.

Pesan yang sama disampaikan oleh Feri Amsari.

Menurutnya, esensi pemilu adalah rasa cinta Tanah Air.

Menurutnya, membiarkan kecurangan merusak pemilu sama saja merusak bangsa ini.

"Dan rezim yang kami ulas dalam film ini lupa bahwa kekuasaan itu ada batasnya. 

Tidak pernah ada kekuasaan yang abadi. Sebaik-baiknya kekuasaan adalah, meski masa berkuasa pendek, tapi bekerja demi rakyat. 

Seburuk-buruknya kekuasaan adalah yang hanya memikirkan diri dan keluarganya dengan memperpanjang kuasanya,” jelas Feri.

Alasan Tayang di Masa Tenang 

Dandhy Dwi Laksono, selaku sutradara memaparkan alasan di balik pembuatan dan peluncuran yang dilakukan di awal masa tenang pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan presiden (Pilpres).

Dandhy berharap film itu bisa menjadi bahan edukasi bagi masyarakat menjelang pemungutan suara yang direncanakan dilakukan pada 14 Februari 2024 mendatang.

"Seyogyanya Dirty Vote akan menjadi tontonan yang reflektif di masa tenang pemilu

Diharapkan 3 hari yang krusial menuju hari pemilihan, film ini akan mengedukasi publik serta banyak ruang dan forum diskusi yang digelar," kata Dandhy dalam keterangan pers yang diterima pada Minggu (11/2/2024).

Baca juga: Sosok Dandhy Dwi Laksono Sutradara Film Dirty Vote, Terungkap Alasan Tayang di Masa Tenang Pemilu

Sementara itu, menurut Dandhy, Dirty Vote akan menjadi tontonan yang reflektif di masa tenang pemilu.

Diharapkan tiga hari yang krusial menuju hari pemilihan, film ini akan mengedukasi publik serta banyak ruang dan forum diskusi yang digelar.

"Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres. 

Tapi hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara," ungkapnya.

Berbeda dengan film-film dokumenter sebelumnya di bawah bendera WatchDoc dan Ekspedisi Indonesia Baru, Dirty Vote lahir dari kolaborasi lintas CSO.

Biaya Pembuatan Film

Ketua Umum SIEJ sekaligus produser, Joni Aswira, mengatakan dokumenter ini sesungguhnya juga memfilmkan hasil riset kecurangan pemilu yang selama ini dikerjakan koalisi masyarakat sipil.

Biaya produksinya dihimpun melalui crowd funding, sumbangan individu dan lembaga.

"Biayanya patungan. Selain itu Dirty Vote juga digarap dalam waktu yang pendek sekali sekitar dua minggu, mulai dari proses riset, produksi, penyuntingan, hingga rilis. Bahkan lebih singkat dari penggarapan End Game KPK (2021),” katanya.

20 lembaga lain yang terlibat kolaborasi dalam film ini ialah, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jatam, Jeda Untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, Walhi, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.

(TribunBaten.com/ Engkos Kosasih, Wartakota, Kompas.com)

Diolah dari artikel TribunBanten.comWartakota, dan Kompas.com.

Tags:
TPSPulau SangiangSerangpemilu
Berita Terkait
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved