Breaking News:

Jabar Disebut Punya APBD Mengendap, Menkeu Purbaya Ditantang Dedi Mulyadi Transparan: Umumkan Saja

Gubernur Dedi Mulyadi menantang Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk transparan soal APBD di semua daerah di Indonesia

|
KOMPAS.com/DINDA AULIA RAMADHANTY// FIKA NURUL ULYA
DEDI MULYADI PURBAYA - Gubernur Dedi Mulyadi menantang Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk transparan soal APBD di semua daerah di Indonesia 
Ringkasan Berita:
  • Gubernur Dedi Mulyadi menantang Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa agar bersikap terbuka dan transparan mengenai data APBD di seluruh daerah di Indonesia. 
  • Meminta agar pemerintah pusat tidak hanya menyoroti satu wilayah, melainkan menunjukkan kondisi keuangan daerah secara menyeluruh. 
  • Menurut Dedi, langkah ini penting agar publik bisa menilai dengan adil bagaimana pengelolaan anggaran dilakukan di setiap daerah.

TRIBUNTRENDS.COM - Polemik antara Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tengah menjadi sorotan publik setelah muncul pernyataan dari Menkeu terkait dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang disebut masih mengendap di bank dalam jumlah besar.

Sebagai informasi, APBD merupakan rencana keuangan tahunan yang disusun oleh pemerintah daerah—baik provinsi, kabupaten, maupun kota—untuk mengatur seluruh pendapatan dan pengeluaran daerah selama satu tahun anggaran.

Dana tersebut seharusnya digunakan untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di wilayah masing-masing.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga akhir September 2025, total simpanan dana pemerintah daerah di perbankan mencapai Rp 234 triliun, jumlah tertinggi yang tercatat dalam lima tahun terakhir.

Baca juga: Purbaya Siapkan Daftar Nama yang Akan Ditangkap, Pengusaha hingga Pegawai Kemenkeu Wajib Waspada!

Angka ini menimbulkan kekhawatiran karena menunjukkan potensi rendahnya penyerapan anggaran oleh pemerintah daerah.

Menkeu Purbaya menegaskan bahwa fenomena tersebut bukan disebabkan oleh keterlambatan penyaluran dana dari pemerintah pusat, melainkan oleh lambannya realisasi belanja daerah.

“Pemerintah pusat sudah menyalurkan dana ke daerah dengan cepat.

Sekali lagi, (untuk) memastikan uang itu benar-benar bekerja untuk rakyat,” ujar Menkeu Purbaya dalam acara Pengendalian Inflasi Daerah 2025 di Kantor Kemendagri, Jakarta, Senin (20/10/2025).

Pernyataan tersebut kemudian memicu tanggapan dari berbagai pihak, termasuk dari Gubernur Jawa Barat, yang merasa perlu meluruskan data terkait penggunaan dana daerah di wilayahnya.

Polemik ini pun menjadi perbincangan hangat karena menyangkut transparansi dan efektivitas pengelolaan keuangan daerah dalam mendukung pembangunan nasional.

Menurut Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, realisasi belanja APBD hingga triwulan ketiga tahun 2025 masih berjalan lambat di sejumlah daerah.

Kondisi ini berdampak pada tertahannya dana besar yang seharusnya segera digunakan untuk berbagai program pembangunan dan pelayanan publik.

Purbaya menegaskan bahwa dana yang telah disalurkan pemerintah pusat justru banyak mengendap di rekening bank milik pemerintah daerah, sehingga manfaatnya belum dirasakan masyarakat secara optimal.

“Rendahnya serapan tersebut berakibat menambah simpanan uang pemda yang menganggur di bank sampai Rp 234 triliun. Jadi jelas, ini bukan soal uangnya tidak ada, tapi soal kecepatan eksekusi,” ujar Purbaya.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan akan menyiapkan skema penghargaan (reward system) bagi pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang memiliki kinerja baik dan berintegritas.
Gubernur Dedi Mulyadi menantang Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk transparan soal APBD di semua daerah di Indonesia. (KOMPAS.com/DEBRINATA RIZKY)

Pernyataan tersebut menjadi sorotan karena menggambarkan masih adanya hambatan dalam tata kelola anggaran daerah, di mana proses penyerapan yang lambat dapat menghambat laju pembangunan dan pemulihan ekonomi di berbagai wilayah. 

Data Kemenkeu menunjukkan tren fluktuasi dana mengendap di perbankan sejak 2021.

Tahun 2021: Rp 194,1 triliun
Tahun 2022: Rp 223,8 triliun
Tahun 2023: Rp 211,7 triliun
Tahun 2024: Rp 208,6 triliun
Tahun 2025: Rp 234 triliun

Kenaikan ini menandai penumpukan dana tertinggi dalam lima tahun terakhir.

Menurut Menkeu Purbaya, kondisi ini menunjukkan eksekusi anggaran daerah belum optimal, meski dana dari pemerintah pusat sudah tersalurkan.

Dedi Mulyadi Menantang: “Buka Datanya, Mana yang Simpan Deposito”

Pernyataan Purbaya langsung direspons oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.

Ia menolak tudingan bahwa dana APBD Jabar sebesar Rp 4,17 triliun mengendap di bank dalam bentuk deposito — istilah perbankan untuk dana yang disimpan dengan jangka waktu tertentu dan tidak bisa ditarik sewaktu-waktu tanpa penalti.

“Saya sudah cek, tidak ada yang disimpan dalam deposito. Saya tantang Pak Menkeu (Purbaya) untuk membuka data dan faktanya, daerah mana yang menyimpan dana dalam bentuk deposito,” ujar Dedi dalam keterangan tertulis di Bandung, Senin (20/10/2025).

Dedi Mulyadi menegaskan, tidak semua daerah menimbun dana.

Sebagian besar, termasuk Jawa Barat, justru mempercepat realisasi belanja agar manfaatnya langsung dirasakan masyarakat.

“Di antara kabupaten, kota, dan provinsi yang jumlahnya sangat banyak ini, pasti ada yang bisa melakukan pengelolaan keuangan dengan baik, bisa membelanjakan kepentingan masyarakatnya dengan baik, bisa jadi juga ada daerah-daerah yang tidak bisa membelanjakan keuangan daerahnya dengan baik,” ujarnya.

Menurutnya, tudingan semacam itu bisa merugikan daerah yang telah bekerja maksimal.

Ia meminta Kemenkeu untuk bersikap transparan dan membuka daftar daerah yang benar-benar menyimpan uang APBD dalam bentuk deposito.

“Daripada menjadi spekulasi yang membangun opini negatif, umumkan saja daerah-daerah mana yang belum membelanjakan keuangannya dengan baik,” tegasnya.

Dedi Mulyadi Klarifikasi: Dana Jabar di Bank Hanya Rp 2,4 Triliun

Dalam pernyataan lanjutan di Universitas Indonesia, Depok, Selasa (21/10/2025), Dedi Mulyadi kembali menegaskan bahwa jumlah dana Jabar di bank tidak mencapai Rp 4,1 triliun, melainkan sekitar Rp 2,4 triliun.

“Bukan Rp 4 triliun, tapi Rp 2,4 triliun. Oh tapi Alhamdulillah, kalau di Bank Indonesia (BI) masih ada dana Pemprov Jabar Rp 4 triliun,” ucap Dedi.

Ia juga menjelaskan bahwa istilah “dana mengendap” tidak sepenuhnya tepat.

 Sebab, dana yang telah masuk ke kas daerah tidak serta-merta bisa langsung dibelanjakan seluruhnya.

Sebagian dana memang ditempatkan dalam deposito jangka pendek, untuk kebutuhan pembayaran proyek yang dijadwalkan setiap bulan.

“Misalnya, uangnya dibelanjakan untuk membangun jalan nilainya Rp 4 triliun. Kan membangun jalan itu tidak langsung semua Rp 4 triliun dibayarkan,” katanya.

Dedi bahkan menyebut dana yang tersisa di kas daerah justru belum cukup untuk membayar seluruh proyek Jabar pada Oktober 2025.

“Pembayaran yang untuk bulan ini itu sekitar Rp 5 triliun. Artinya masih kurang. Menunggu dari mana? Ya menunggu dari dana bagi hasil pemerintah pusat,” jelasnya.

Ia menyebut dana bagi hasil (DBH) — yakni dana transfer dari pemerintah pusat kepada daerah yang berasal dari pajak dan sumber daya alam — belum sepenuhnya dibayarkan.

“Dana DBH yang tahun lalu belum lunas bayarnya masih Rp 191 miliar lagi,” ujar Dedi.
 
Menkeu Purbaya Membalas: “Mungkin Anak Buahnya Ngibulin Dia”

Tak lama setelah bantahan Dedi, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa memberikan tanggapan keras.

Ia menegaskan bahwa data dana mengendap bukan berasal dari Kemenkeu, melainkan dari Bank Indonesia (BI) — lembaga bank sentral yang memantau laporan kas seluruh pemerintah daerah.

“Tanya saja ke Bank Sentral. Itu kan data dari sana. Kemungkinan besar anak buahnya juga ngibulin dia, loh. Karena itu laporan dari perbankan. Data pemerintah, sekian, sekian, sekian,” ujar Purbaya di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (21/10/2025).

Purbaya menampik anggapan bahwa dirinya menyinggung secara spesifik Jawa Barat. Ia menilai Dedi salah paham karena data yang disampaikan bersifat nasional, bukan individual.

“Dia hanya tahu Jabar saja, kan. Saya enggak pernah sebut data Jabar. Kalau mau periksa, ya periksa saja sendiri di sistem monitoring BI. Itu laporan dari perbankan yang masuk secara rutin,” ujarnya.

Menurut Purbaya, Dedi seperti berdebat dengan dirinya sendiri, sebab semua data tersebut sudah dikonfirmasi oleh BI dan Mendagri dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah.

Analisis: Serapan Anggaran Rendah, Ekonomi Daerah Melambat

Sebelumnya dalam forum, Menkeu Purbaya juga mengungkapkan data serapan anggaran nasional yang menunjukkan keterlambatan di banyak daerah. 

Hingga September 2025, realisasi belanja APBD baru mencapai 51,3 persen atau Rp 712,8 triliun dari total pagu Rp 1.389 triliun.

Angka ini lebih rendah 13,1 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Belanja modal — yaitu pengeluaran untuk pembangunan fisik seperti infrastruktur dan sarana publik — juga menurun tajam.

“Yang perlu perhatian serius adalah belanja modal hanya Rp 58,2 triliun atau turun lebih dari 31 persen. Padahal ini belanja yang langsung berdampak ke pembangunan dan lapangan kerja,” kata Menkeu Purbaya.

Ia menjelaskan bahwa jika dana daerah terus mengendap di bank, perputaran ekonomi menjadi lambat.

Bank yang menampung dana tersebut tidak bisa menyalurkan kredit ke pelaku usaha di daerah, sehingga aktivitas ekonomi lokal terhambat.

“Daerah menaruhnya di bank pembangunan pusat seperti di Bank Jakarta. Itu kan daerahnya enggak ada uang jadinya. Banknya enggak bisa muterin tuh, enggak bisa meminjamkan di sana,” ujar Purbaya.

“Harusnya walaupun enggak dibelanjakan, biar aja uangnya di daerah. Jadi, bank daerah bisa menyalurkan ke pelaku usaha di kawasan itu,” tambahnya.

Daftar Pemda dengan Dana Mengendap Terbesar per September 2025

Menkeu Purbaya juga memaparkan daftar 15 pemerintah daerah dengan simpanan uang terbesar di bank.

Berikut daftarnya:

Pemprov DKI Jakarta: Rp 14,6 triliun
Pemprov Jawa Timur: Rp 6,8 triliun
Pemkot Banjarbaru: Rp 5,1 triliun
Pemprov Kalimantan Utara: Rp 4,7 triliun
Pemprov Jawa Barat: Rp 4,1 triliun
Pemkab Bojonegoro: Rp 3,6 triliun
Pemkab Kutai Barat: Rp 3,2 triliun
Pemprov Sumatera Utara: Rp 3,1 triliun
Pemkab Kepulauan Talaud: Rp 2,6 triliun
Pemkab Mimika: Rp 2,4 triliun
Pemkab Badung: Rp 2,2 triliun
Pemkab Tanah Bumbu: Rp 2,1 triliun
Pemprov Bangka Belitung: Rp 2,1 triliun
Pemprov Jawa Tengah: Rp 1,9 triliun
Pemkab Balangan: Rp 1,8 triliun
 
Menkeu Purbaya menegaskan kembali bahwa tujuan utama dari pernyataannya bukan untuk menyalahkan daerah tertentu, melainkan untuk mendorong percepatan belanja daerah agar uang publik benar-benar memberikan dampak ekonomi nyata.

“Saya ingatkan, percepatan realisasi belanja terutama yang produktif harus ditingkatkan dalam tiga bulan terakhir tahun ini. Uang daerah jangan dibiarkan mengendap di kas atau deposito,” ujarnya.
“Kalau uangnya bergerak, ekonomi ikut hidup dan masyarakat langsung merasakan manfaatnya,” tambahnya.

Sementara itu, Dedi Mulyadi berharap perdebatan ini bisa menjadi momentum untuk memperbaiki sistem pelaporan dan koordinasi fiskal antara pusat dan daerah, tanpa saling menyalahkan.

“Ini harus dibuka secara transparan. Jangan sampai opini negatif merugikan daerah yang sudah bekerja dengan baik,” tutup Dedi.
 
Artikel ini telah tayang di Kompas dengan judul Saling Jawab KDM Vs Purbaya soal Dana APBD Mengendap di Bank

Artikel ini telah tayang di Kompas dengan judul Tepis Purbaya, Dedi Mulyadi Sebut Dana Jabar Mengendap di Bank Bukan Rp 4,1 Triliun

(TribunTrends.com/Wartakota/Disempurnakan dengan bantuan AI)

 

Tags:
APBDDedi MulyadiMenkeuPurbaya
Rekomendasi untuk Anda

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved