Raja Keraton Solo Meninggal
Kereta Jenazah Berumur 100 Tahun Kembali Bergerak: Mengantar Pakubuwono XIII ke Peristirahatan Abadi
Potret kereta jenazah berusia lebih dari 100 tahun kendaraan agung yang digunakan untuk mengantar kepergian Pakubuwono XIII.
Editor: jonisetiawan
Rencananya, kirab jenazah akan melibatkan seluruh unsur keraton: para sentono, abdi dalem, prajurit keraton, serta kerabat kerajaan.
Masyarakat pun akan diperkenankan berdiri di sepanjang jalan, memberi penghormatan terakhir kepada pemimpin mereka yang telah wafat.
“Kereta jenazah akan ditarik oleh enam hingga delapan ekor kuda. Biasanya masyarakat akan berdiri di sepanjang jalan, menundukkan kepala, memberi penghormatan kepada raja mereka,” kata Gusti Puger dengan nada yang penuh rasa hormat.
Rute Sakral Menuju Loji Gandrung
Adik PB XIII lainnya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Koes Moertiyah Wandansari, atau yang akrab disapa Gusti Moeng, menjelaskan bahwa kirab jenazah akan berlangsung sebelum keberangkatan ke Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Rabu (5/11/2025).
“Rutenya seperti prosesi pelepasan jenazah Sinuhun Paku Buwono XII,” ungkapnya.
Kirab akan dimulai dari Keraton Kasunanan Surakarta, melewati Bangsal Magangan, Alun-Alun Selatan, keluar melalui Plengkung Gading, kemudian berlanjut ke Jalan Veteran, berbelok di perempatan Tipes, menuju Jalan Slamet Riyadi, dan berakhir di Loji Gandrung, rumah dinas Wali Kota Solo.
“Di Loji Gandrung, kereta akan berhenti sebentar untuk memindahkan peti jenazah dari kereta ke mobil ambulans, yang akan melanjutkan perjalanan menuju Imogiri,” lanjut Gusti Moeng.
Simbol Kehormatan dan Keabadian
Prosesi kirab ini bukan sekadar perjalanan terakhir seorang raja, melainkan simbol keagungan, pengabdian, dan kehormatan yang dijaga selama berabad-abad oleh Keraton Surakarta.
Kereta berusia seabad itu kini kembali menjadi saksi bisu roda-roda tuanya berputar perlahan, membawa sejarah, doa, dan air mata yang tumpah di sepanjang jalan.
Bagi masyarakat Surakarta, ini bukan sekadar perpisahan, melainkan penghormatan kepada seorang pemimpin yang telah menutup perjalanan hidupnya dengan kebesaran dan kemuliaan seorang raja.
Dan ketika derap langkah kuda berpadu dengan suara gamelan yang mengalun sendu, Keraton Surakarta kembali menulis babak baru dalam kisah panjang tradisi Mataram kisah tentang kehormatan yang tak lekang oleh waktu.
***
(TribunTrends/Sebagian artikel diolah dari TribunSolo)