Politik Viral
Purbaya Ngaku Dirinya Pelit, Batal Bikin Rakyat Belanja Murah, Negara Rugi Rp70 Triliun
Menkeu Purbaya akui dirinya pelit, dia mengatakan pemerintah batal menurunkan PPN menjadi 8 persen, negara bisa rugi Rp 70 triliun.
Editor: jonisetiawan
Ringkasan Berita:
- Setiap 1 persen Penurunan PPN Bisa Hilangkan Rp70 Triliun Pendapatan Negara
- Fokus pada Perbaikan Sistem Coretax Sebelum Ambil Keputusan Besar
- Kehati-hatian Jadi Prinsip Utama dalam Kebijakan Fiskal
TRIBUNTRENDS.COM - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa duduk bersandar, menatap tumpukan data yang tak henti bergulir di layar.
Di hadapannya, bukan sekadar angka melainkan cerminan beban berat yang kini ia pikul sebagai penjaga kestabilan kas negara.
Beberapa bulan lalu, sebelum duduk di kursi kementerian, wacana menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 8 persen mungkin terasa seperti ide populer yang mudah dijual ke publik.
Namun kini, setelah ia benar-benar menjadi Menkeu, kenyataannya jauh lebih kompleks.
Baca juga: Kisah Pedagang Kecil yang Terancam Mati Pelan-pelan Gegara Kebijakan Purbaya: Tolong Solusinya
Setiap satu persen yang turun berarti Rp70 triliun pendapatan negara yang lenyap angka yang bisa mengguncang fondasi fiskal bila tak diperhitungkan dengan cermat.
“Waktu di luar saya enaknya juga ngomong gitu, ‘turunin aja ke 8 persen’,” ujar Purbaya, diselingi tawa kecil yang terdengar getir.
“Tapi begitu jadi Menteri Keuangan, setiap 1 persen turun saya kehilangan pendapatan Rp70 triliun.
Wah, rugi juga nih. Jadi kita pikir-pikir.”
Ucapan itu, meski dibalut kelakar, mencerminkan dilema besar seorang pengambil kebijakan.
Menurunkan tarif pajak memang bisa menggairahkan konsumsi masyarakat, tapi di sisi lain, bisa membuat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melebar.
Karena itu, keputusan besar itu ia tunda bukan karena takut, tapi karena sadar bahwa setiap langkahnya kini diawasi oleh logika fiskal yang tak mengenal kompromi.
 
Purbaya menjelaskan, keputusan terkait pajak tak boleh diambil tanpa landasan data yang solid.
Pemerintah, katanya, harus lebih dulu memastikan kemampuan riil penerimaan pajak dan bea cukai, terutama setelah sistem administrasi pajak terbaru, Coretax, berjalan optimal.
Sistem yang resmi diluncurkan pada 1 Januari 2025 itu sejatinya digadang-gadang menjadi tulang punggung digitalisasi perpajakan nasional.
Namun, realitas di lapangan masih jauh dari ideal. Gangguan teknis masih kerap terjadi, membuat pengumpulan pajak belum maksimal seperti harapan awal.
“Dari situ saya bisa ukur sebetulnya potensi penerimaan saya yang real berapa.
Nanti kalau saya turunkan, kurangnya berapa, dampak pertumbuhan ekonominya berapa,” jelasnya dengan nada penuh kalkulasi.
Kehati-hatian, bagi Purbaya, bukan sekadar pilihan melainkan kewajiban moral seorang menteri keuangan.
Ia tak ingin kebijakan populis justru berujung pada guncangan fiskal yang berbahaya.
“Nanti saya hitung semuanya. Jadi walaupun saya katanya konyol, enggak konyol-konyol amat.
Saya pelit dan hati-hati. Kalau jeblok nanti di atas 3 persen defisit saya,” ujarnya, disambut tawa kecil dari para pejabat di sekitarnya.
Namun di balik gurauan itu, tersirat kesadaran bahwa setiap keputusan fiskal adalah pertaruhan reputasi dan kepercayaan publik.
Baca juga: Menkeu Purbaya Ungkap Peluang PPN Turun di 2026, Pikirkan Daya Beli dan Kestabilan Ekonomi Negara
Kini, Purbaya memilih menahan diri. Fokus utamanya bukan pada penurunan tarif, melainkan membenahi Coretax agar benar-benar solid.
Ia menargetkan perbaikan sistem rampung dalam dua kuartal ke depan, sebelum melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pajak.
“Saya akan perbaiki Coretax sekarang sampai dua kuartal ke depan.
Mungkin akhir Kuartal I (2026) saya sudah lihat,” ujarnya optimistis.
 
Meski demikian, pintu untuk penurunan PPN di masa depan tidak tertutup rapat.
Purbaya mengakui, jika ekonomi nasional menguat dan penerimaan negara membaik, ia akan membuka kembali peluang itu sebagai langkah untuk mendorong daya beli masyarakat.
“Nanti akan kita lihat bisa enggak kita turunkan PPN. Itu untuk mendorong daya beli masyarakat nanti ke depan. Tapi kita pelajari dulu hati-hati,” tuturnya.
Dalam dunia fiskal yang dingin dan penuh angka, Purbaya memilih berdiri di jalur kehati-hatian.
Ia bukan menteri yang terburu-buru mengambil langkah populis hanya demi sorotan publik. Ia tahu, di balik satu persen PPN yang tampak kecil di mata rakyat, tersimpan konsekuensi senilai Rp70 triliun dan tanggung jawab besar menjaga keseimbangan negara.
Di penghujung hari, di balik layar penuh data dan tatapan tajam para analis, Purbaya tampak seperti seorang penjaga bendungan besar: menahan derasnya arus demi menjaga negeri agar tak jebol.
Dalam dunia di mana satu persen bisa menentukan nasib fiskal, sikap “pelit dan hati-hati” bukan kelemahan, melainkan bentuk keberanian yang paling sunyi.
***
(TribunTrends/Sebagian artikel diolah dari Kompas)
| Celetukan Rocky Gerung Bikin Iwan Fals Geleng Kepala, Ubah Lirik Lagu untuk Sindir Gibran: Cukup! |   | 
|---|
| Pedagang Menangis saat Importir Pakaian Bekas Ditangkap Gegara Purbaya: Hulunya Mati, Kami Juga Mati |   | 
|---|
| Menpan-RB Temui Purbaya, Nasib Gaji PNS 2026 Ditentukan di Meja Pertemuan, Ada Peluang Naik? |   | 
|---|
| Baru Jadi Menkeu, Purbaya Langsung Dilema: Kerugian Negara Bikin PPN Batal Turun ke 8 Persen |   | 
|---|
| Alasan Purbaya Tak Bisa Pura-pura hingga Rela Dimarahi Pejabat: Ingin Rakyat Percaya ke Pemerintah |   | 
|---|
 
							 
                 
											 
											 
											 
											