Kedatangan Rektor ITB disambut langsung oleh kedua orangtua Devit—Julimar dan Doni Afrijal. Mereka menangis tersedu di hadapan Prof. Tata. Istri Rektor pun langsung memeluk ibu Devit dalam kehangatan yang menggetarkan hati.
“Ayah Ibu Devit nangis sesenggukan termasuk Prof Tata,” tulis Imam lagi.
Dengan penuh empati, Prof. Tata mencoba menenangkan ayah Devit.
Ia pun memberikan hadiah berupa topi khas ITB kepada Devit, sebagai simbol sambutan untuk mahasiswa barunya yang istimewa.
Sehari-hari, ayah Devit bekerja memanggul kayu manis.
Tak ada gaji tetap.
Sementara sang ibu, hanya bisa membantu menyisir kayu yang sudah dipetik. Hidup pas-pasan.
Tapi dari keterbatasan itu, lahirlah seorang pemuda dengan semangat membara menembus kampus impian jutaan orang.
Tak hanya warga kampung yang terharu.
Publik di media sosial ikut bangga.
Komentar penuh doa dan pujian mengalir di unggahan Imam.
“Semoga Devit dan orang-orang yang membersamainya senantiasa dimudahkan jalannya. MasyaAllah, ikut bangga sama anak orang,” tulis akun @dia***.
“Yg bikin terharu disini masyarakat kampungnya yg saling bantu sampe iuran untuk bekal Devit di Bandung… semoga Devit bisa jadi panutan untuk adik-adik dikampungnya,” ujar @rit***.
“Devit bener-bener pribadi 'anak baik' yang terselamatkan oleh bantuan para warga. Ini adalah budaya urunan & gotong royong yang masih common di desa,” ungkap @alf***.
Sebagai bentuk apresiasi atas perjuangannya, Devit juga mendapat bantuan dari Paragon Corp.