Pilpres 2024

Sederet Bukti Pelanggaran Etik yang Ditemukan MKMK, Bagaimana Nasib Gibran? Anwar Usman Disanksi?

Editor: ninda iswara
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

MKMK klaim punya sederet bukti pelanggaran etik, bagaimana nasib Gibran Rakabuming? Akankah Ketua MK Anwar Usman akan disanksi?

Dalam dissenting opinion-nya, Arief memaparkan kronologi bahwa kepaniteraan MK menerima surat penarikan gugatan yang dikirim kuasa hukum Almas pada Jumat (29/9/2023).

Surat itu bertanggal 26 September 2023. Namun, pada Sabtu (30/9/2023), MK menerima surat baru dari kuasa hukum Almas bertanggal 29 September 2023 yang isinya memuat pembatalan surat pencabutan gugatan yang mereka serahkan kepada MK satu hari sebelumnya.

Almas cs meminta MK tetap memeriksa dan memutus perkara itu.

Lalu, pada Selasa (3/10/2023), MK menggelar sidang untuk mengonfirmasi pencabutan dan pembatalan pencabutan gugatan Almas.

Menurut kuasa hukum, surat pembatalan penarikan gugatan itu diterima oleh petugas keamanan MK bernama Dani pada Sabtu (30/9/2023) malam.

Namun, berdasarkan penelusuran Arief, merujuk Tanda Terima Berkas Perkara Sementara yang dicatat oleh MK, surat pembatalan penarikan gugatan itu baru diterima pada Senin (2/10/2023) pada pukul 12.04 WIB.

Menurut Arief, pegawai MK yang menerima surat itu pun bukan Dani, sebagaimana dikatakan tim kuasa hukum.

Pegawai MK yang namanya tercantum dalam Tanda Terima Berkas Perkara Sementara adalah Safrizal.

Arief mengaku heran karena kepaniteraan MK meregistrasi surat pembatalan penarikan gugatan itu pada Sabtu (30/9/2023) yang notabene merupakan hari libur, bukan pada Senin (2/10/2023) sebagaimana tercatat dalam Tanda Terima Berkas Perkara Sementara.

Mantan Ketua MK itu menilai, pemohon mempermainkan kehormatan MK sebagai lembaga peradilan dan tidak serius dalam mengajukan permohonan gugatan.

Arief juga menyebutkan, pemohon mestinya tidak dapat mengajukan lagi gugatan yang telah mereka cabut, sebagaimana diatur Pasal 75 ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf c pada Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 yang mengatur tata beracara dalam perkara pengujian undang-undang.

Di sisi lain, katanya, MK seharusnya menolak surat pembatalan penarikan perkara dan tak lagi melakukan pemeriksaan, apalagi mengabulkan permohonan.

4. Gugatan tak ditandatangani

Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang pada akhirnya dikabulkan oleh MK dimohonkan oleh seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru.

Ternyata, baru-baru ini terungkap bahwa dokumen perbaikan permohonan tersebut tak ditandatangani kuasa hukum ataupun Almas sendiri.

Temuan ini diungkap oleh Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), salah satu pelapor dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi. PBHI mendapatkan dokumen tersebut langsung dari situs resmi MK dan dipaparkan dalam persidangan.

"Kami berharap ini juga diperiksa. Kami khawatir apabila dokumen ini tidak pernah ditandatangani sama sekali maka seharusnya dianggap tidak pernah ada perbaikan permohonan atau bahkan batal permohonannya," ungkap Ketua PBHI Julius Ibrani yang terhubung secara daring dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/11/2023).

Menurut Julius, selama ini MK telah menjadi pionir sekaligus teladan pemeriksaan persidangan yang begitu disiplin, termasuk dalam hal tertib administratif.

Oleh karenanya, janggal apabila ada dokumen permohonan yang tak ditandatangani, tetapi tetap diproses.

"Kami mendapatkan satu catatan, dokumen ini tidak pernah ditandatangani dan ini yang dipublikasikan secara resmi oleh MK melalui situsnya," ucap dia.

Terkait hal ini, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa terdapat dua dokumen perbaikan yang disampaikan pemohon perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Menurutnya, dokumen perbaikan yang diunggah di situs resmi MK memang tidak bertanda tangan.

"Tapi ada sidang klarifikasi, sidang pendahuluan, nah itu sudah diperbaiki," kata Jimly selepas sidang, Kamis (2/11/2023).

Jimly pun mengakui bahwa temuan ini menunjukkan adanya masalah dalam tertib administrasi di MK terkait perkara uji materi syarat usia capres-cawapres.

"Kami sudah mendapatkan klarifikasi khusus untuk itu, (bahwa) ada rapat klarifikasi. Itu sudah diperbaiki," tegasnya.

Baca juga: Dituduh Berbohong, Ketua MK Anwar Usman Ngaku Sakit saat Mangkir Putus Perkara: Sumpah Demi Allah

Nasib Gibran Rakabuming (kompastv)

Nasib Gibran 

Apakah putusan MKMK bisa menggugurkan putusan MK sehingga pencalonan Gibran di Pilpres 2024 bisa batal?

Eks hakim konstitusi yang juga eks Ketua MKMK, I Dewa Gede Palguna, menegaskan putusan MKMK tidak bisa mengoreksi putusan MK.

Termasuk putusan yang menuai pro dan kontra nomor 90/PUU-XXI/2023, yang mengubah Pasal 169 huruf q UU Pemilu soal batas usia capres-cawapres.

"Pendapat saya, sebagaimana telah saya sampaikan ke berbagai media, MKMK memang tidak boleh memasuki putusan MK," kata Palguna kepada wartawan pada Sabtu (4/11/2023).

"Wewenang MKMK adalah berkenaan dengan (dugaan) pelanggaran etik dan pedoman perilaku hakim (sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama). Artinya, kewenangan MKMK terbatas pada penjatuhan sanksi etik terhadap hakim konstitusi jika terbukti melanggar," jelasnya.

Palguna tidak menutup kemungkinan Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie bisa saja membuat "gebrakan" berkenaan dengan sanksi yang dijatuhkan untuk hakim konstitusi yang terbukti melanggar etik.

Ia menyinggung rekam jejak Jimly yang dikenal progresif dan senang membuat terobosan.

"Namun tetap berada di wilayah etik, tidak memasuki putusan MK," ujar Palguna yang juga menjadi Ketua MKMK ad hoc pada awal tahun ini.

"Artinya, betapa pun jengkelnya kita terhadap putusan MK, putusan tersebut tetap mengikat sebagai hukum sesuai dengan bunyi Pasal 47 UU MK, 'Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum'," kata dia.

Ia berpandangan, putusan MKMK hanya bisa berdampak terhadap putusan MK jika putusan etik tersebut dijadikan sebagai bukti kuat untuk mengajukan alasan pengujian kembali terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang telah diubah Putusan 90.

"Pasal 60 UU MK pada pokoknya menyatakan bahwa UU yang telah pernah dimohonkan pengujian tidak dapat diuji kembali kecuali alasan konstitusional yang digunakan sebagai dasar pengujian berbeda," jelas Palguna.

Sebelumnya, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie membuka kemungkinan putusan etik yang ia teken nanti akan dapat mengoreksi putusan MK, entah dengan cara apa.

Itu sebabnya, ia mengabulkan permintaan salah satu pemohon, Denny Indrayana, agar putusan etik itu dibacakan pada 7 November 2023, sehari sebelum tenggat pengusulan bakal capres-cawapres pengganti di KPU RI.

Denny melandaskan argumennya pada Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur tidak sahnya sebuah putusan yang dihasilkan dari majelis hakim yang tidak mundur dari potensi konflik kepentingan pada perkara tersebut.

UU yang sama mengamanatkan agar, jika situasi itu terjadi, maka perkara tersebut harus disidang ulang dengan komposisi majelis hakim yang berbeda.

Namun, Jimly menyinggung, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 secara tegas mengatur bahwa putusan MK final dan mengikat.

"Prinsipnya ini adalah lembaga penegak etik. Kita tidak menilai putusan MK. Tapi kalau Anda ini bisa meyakinkan kami bertiga, dengan pendapat yang rasional, logis, dan masuk akal, bisa diterima akal sehat, why not?" ungkap Jimly, Rabu lalu.

Menurut Jimly, Anwar Usman benar terbukti bersalah dalam memutuskan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal capres-cawapres.

Pernyataan Jimly ini dilontarkan untuk menjawab pertanyaan awak media terkait apakah ipar Presiden Jokowi itu terbukti bersalah.

"Iyalah (terbukti bersalah)," kata Jimly, di Gedung MK, Jumat (3/11/2023).

Jimly mengungkapkan Anwar Usman merupakan hakim yang paling banyak dilaporkan.

"Total ada 21 semuanya (laporan), namun yang terkait Anwar Usman ada 15 laporan" kata Jimly.

Baca juga: KARIER Ketua MK Anwar Usman Terancam, Jika Terbukti Langgar Kode Etik Bisa Diberhentikan Tak Hormat

Ketua MK, Anwar Usman (Tribunnews/ Irwan Rismawan)

Sanksi Bagi Hakim MK Pelanggar Etik

Merujuk Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023, ada tiga sanksi yang bisa diterapkan kepada hakim yang melanggar etik, yakni:

- Teguran lisan;

- Teguran tertulis; atau

- Pemberhentian tidak dengan hormat.

Teguran lisan tersebut disampaikan secara langsung dengan cara mengundang hakim terlapor dan pelapor atau hakim terduga.

Sementara teguran tertulis disampaikan kepada Hakim Terlapor dengan tembusan kepada Hakim lainnya dan disampaikan kepada Pelapor atau Kuasanya atau Hakim Terduga.

Sedangkan untuk pemberhentian tidak dengan hormat, ada mekanisme yang mengatur secara rinci. Berikut mekanismenya:

Pemberhentian tidak dengan hormat, hakim Terlapor wajib diberi kesempatan untuk membela diri.

Pemberian kesempatan untuk membela diri dilakukan di hadapan sidang Majelis Kehormatan Banding dengan komposisi anggota Majelis Kehormatan yang berbeda dengan sidang sebelumnya.

Pengaturan lebih lanjut tentang Majelis Kehormatan Banding diatur tersendiri dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi.

Tiga Klaster Putusan

Jika hakim terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran etik, maka Majelis Kehormatan menyatakan:

Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi;

- Memulihkan nama baik Hakim Terlapor atau Hakim

- Jika terbukti melakukan pelanggaran etik ringan, Majelis Kehormatan menyatakan:

- Hakim Terlapor Terbukti melakukan Pelanggaran ringan;

- Hakim Terlapor dijatuhi sanksi teguran lisan atau teguran tertulis.

- Jika hakim terbukti melakukan pelanggaran etik berat:

- Hakim Terlapor Terbukti melakukan pelanggaran berat;

- Menjatuhkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat.

(Wartakotalive)

 

Diolah dari artikel di WartaKotalive.com