Merengek Minta Domba
Sepanjang Ingatan Dedi, jarang dia merengek. Rengekan yang ia ingat adalah saat dirinya ingin mendapatkan dua ekor domba untuk digembala.
Mendengar rengekan Dedi, sang ibu menjual cincin seharga Rp 7.500 untuk dapat dua ekor domba, jantan dan betina.
Setiap hari, Dedi dibantu kakak nomor duanya, Kang Ade, menggembala domba. Sang ibu membantu menyabit rumput. Dari 2 ekor, dombanya menjadi 40 ekor.
Domba-domba inilah yang membantu uang sekolah Dedi dan kebutuhan hidup keluarganya. Bahkan, bila ada saudara yang akan syukuran menikah atau keperluan lain, hasil dari domba Dedi yang jadi asal bantuan.
Memasuki usia SMA, Dedi bekerja sambilan sebagai tukang ojek di kampungnya. Dari situ dia bisa mengumpulkan Rp 2.000 per hari sebagai tambahan uang biaya sekolah.
Gagal Masuk Militer
Selepas SMA, Dedi sempat menjajal kemampuan diri untuk mengikuti jejak sang ayah menjadi tentara. Terlebih lagi dia punya sosok idola M Jusuf. Untuk itu, dia mendaftar ke AKABRI dan Secapa. Sayangnya, kedua upaya itu kandas.
Berat badannya yang hanya 48 kilogram tak cukup, dari persyaratan minimal 55 kilogram.
Dedi lalu menjajal masuk Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Ia lulus, namun tidak diambilnya karena tak ada biaya.
Gagal melanjutkan sekolah, Dedi memutuskan ikut sang kakak ke Purwakarta dengan membawa lima helai pakaian.
Di Purwakarta, Dedi dan kakaknya tinggal di rumah kontrakan yang kondisinya nyaris roboh. Di situ juga hanya ada satu kasur, sehingga Dedi tidur di lantai tanpa alas.
Saat susah tidur karena kondisi tersebut, Dedi memilih menegakkan salat malam.
“Kakak saya penjaga genset, penghasilannya Rp 100.000 per bulan sisa potongan bank. Karenanya kalau belanja sekaligus. Ikan asin, lalu gudeg pake tulang ikan asin kuat untuk dua minggu,” tuturnya.
Tak berapa lama, Dedi nekat melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Purwakarta.
Untuk biaya kuliah, ia berjualan gorengan atau bisnis apa pun yang penting halal.
“Hasil dari jualan gorengan, beras, dan lainnya, saya gunakan untuk biaya kuliah dan berorganisasi. Saya pun tinggal di sekretariat,” imbuhnya.
Untuk mengirit, ia biasanya kerap jalan kaki dengan teman-temannya yang karyawan sepulang kuliah di malam hari.
Karir Politik
Di kampus, sekitar tahun 1994, Dedi Mulyadi menjadi Ketua HMI Cabang Purwakarta. Dia juga aktif di organisasi buruh seperti Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) pada 1997 dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pada 1998.
Setahun sebelum lulus pada 1998, Dedi menikah dengan Sri Muliawati. Dari pernikahannya ia dikaruniai anak bernama Maulana Akbar Ahmad Habibie.
Kekritisisan Dedi mengantarkannya menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Purwakarta periode 1999-2004 melalui Partai Golkar.
Masa kerja itu tak selesai, karena Dedi dipinang mendampingi Lily Hambali pada Pilkada 2003 sebagai Wakil Bupati Purwakarta 2003-2008.
Di tahun yang sama, Dedi menikah dengan Anne Ratna Mustika. Dari pernikahannya yang berakhir dengan perceraian ini, Dedi dikaruniai 2 orang anak.
Pada Pilbup 2008, Dedi mencalonkan diri menjadi Bupati Purwakarta dan menang, berpasangan dengan Dudung B Supardi.
Dedi kemudian kembali menjadi Bupati Purwakarta periode 2013-2018.
Di Golkar, Dedi Mulyadi terpilih aklamasi menjadi Ketua DPD Golkar Jawa Barat. Setelah itu ia mencalonkan diri sebagai Wagub Jabar mendampingi Deddy Mizwar di Pilgub Jabar 2018, namun gagal.
Ayah dari tiga anak ini kemudian menjadi anggota DPR RI sebelum akhirnya kembali maju di Pilgub Jabar 2024 dari Partai Gerindra dan menang.
(TRIBUNJABAR.ID/ Hilda Rubiah)
Artikel ini telah tayang di TRIBUNJABAR.ID