TRIBUNTRENDS.COM - Tak banyak orang tahu, ternyata ada seorang polisi wanita (polwan) yang pernah menolak jadi ajudan istri Presiden RI ke-2 Soeharto, Ibu Tien.
Polwan tersebut adalah Ni Luh Putu Sugiantiri.
Semasa hidupnya, Ni Luh Putu Sugiantiri dikenal sebagai polisi kepercayaan Presiden RI pertama Soekarno.
Ia merupakan Polwan terakhir yang bertugas mengawal Soekarno sebelum Sang Proklamator meninggal dunia pada 1970.
Di awal pemerintahan Soeharto, Ni Luh Putu Sugiantiri menolak tawaran sebagai ajudan Ibu Tien Soeharto.
Sebagai informasi, Ni Luh Sugianitri meninggal dunia pada Maret 2021 lalu.
Baca juga: 4 Momen Menegangkan Paspampres Bertaruh Nyawa Lindungi Presiden, dari Era Soeharto hingga Jokowi
Dalam kenangan Ni Luh Putu Sugiantiri, foto ini terakhir mengajak foto karena selorohnya adalah foto terakhir memakai baju kedinasan presiden.
Yah hari itu, Soeharto "melantik" dirinya sebagai Presiden berbekal Supersemar "abal-abal".
Dalam kenangan Ni Luh Putu Sugianitri, dirinya kerap membelikan buah-buahan kepada sang Proklamator karena tidak tega melihat Soekarno tidak bisa makan karena ketiadaan uang sama sekali.
Walau gajinya sebagai polwan sangat kecil, Ni Luh Putu Sugiantiri iklas memberi karena iba dengan penderitaan Soekarno yang sengaja dibiarkan dan terlantar karena tahanan rumah di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala) Jakarta.
Nitri mengawali kisahnya dengan masuk sebagai anggota Polisi Wanita (Polwan) saat mendaftar di Bali pada tahun 1964.
Saat itu usianya masih 16 tahun dan baru saja tamat SMP. Uniknya, Nitri mencuri umur 2 tahun lebih tua menjadi 18 tahun agar bisa diterima.
Dirinya pun berhasil lulus dan menjalani pendidikan di Sukabumi, Jawa Barat. Nitri sendiri kerap diminta untuk tampil menari di acara-acara kepresidenan.
Nitri berhasil terpilih menjadi ajudan anak-anak Bung Karno setelah pasukan pengawal presiden, Cakra Birawa, dibubarkan dan diganti dengan pengawal Kepolisian.
Dari sana, perlahan Nitri dipercaya untuk mengembang tanggung jawab yang lebih besar lagi, yakni menjadi ajudan Sukarno.