Pada jam istirahat, siswa kelas 3 SD itu makan kuaci.
Baca juga: Nasib Polisi Banyumas yang Siksa Pelaku Pencurian Motor hingga Tewas, Kini Dihukum 7 Tahun Penjara
Namun, saat kembali masuk jam belajar, wali kelas berinisial NS mendapati ruangan berserakan kulit kuaci.
"Informasi dari kakak tingkatnya, mereka ini disuruh gurunya menyapu lantai tersebut sampai bersih dan berkata tidak akan mengajar jika ruangan kelas tidak bersih," bebernya.
NS kemudian menyuruh muridnya ke depan kelas serta memanggil tiga rekan gurunya yang lain, yakni B, M, dan N.
Lalu NS bertanya kepada rekannya, hukuman apa yang pantas diberikan kepada muridnya tersebut.
Baca juga: Rayakan Pensiun, Guru Ini Hadiahkan Paket Umrah ke Murid yang Menang Undian, Semua Biaya Digratiskan
M memberikan saran agar memberikan hukuman dengan cara memakan kuaci.
Setelah membeli kuaci, M menebar kuaci ke lantai.
Lalu ia menyuruh murid-murid tersebut memakan kuaci beserta kulitnya menggunakan mulut dengan tangan di belakang.
"Saat anak kami itu dihukum disaksikan ramai-ramai oleh murid dari kelas lain dari kelas 4, 5, dan 6," ujarnya.
Setelah memakan kuaci, anak-anak tersebut masih merasa jijik hingga ada yang mual, muntah, dan tenggorokan sakit.
Azwar menuturkan, kejadian tersebut telah dilaporkan kepada kepala sekolah yang bersangkutan.
"Kami para orang tua juga sudah dipertemukan dengan yang guru bersangkutan," kata dia.
Baca juga: Kepergok Nonton Drakor, 2 Remaja Korut Dihukum Kerja Paksa 12 Tahun, Dianggap Hancurkan Masa Depan
Pada saat pertemuan itu, oknum guru tersebut telah meminta maaf dan mengaku khilaf.
Melihat kondisi anaknya, mereka belum bisa memaafkan sepenuhnya.
Untuk itu, para orang tua murid melaporkan oknum guru tersebut ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pesisir Barat agar kejadian seperti itu tidak terulang kembali.
Mereka juga berharap agar Pemkab Pesisir Barat memberikan sanksi kepada dua oknum guru tersebut.
"Sebenarnya yang kami minta dua oknum guru yakni wali kelas NS dan guru N tugasnya dimutasi dari Pulau Pisang," imbuhnya.
"Karena kalau mereka masih mengajar di Pulau Pisang, bagaimana perasaan anak kami yang masih merasa trauma," tandasnya.
***
(TribunTrends/Jonisetiawan)