Berita Viral

Padahal Sudah di Depan Mata, Kapal Kayu Berisi Pengungsi Rohingya Ditolak Warga Aceh, Ini Alasannya

Editor: jonisetiawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kapal para pengungsi Rohingya hendak bersandar di Pantai Kuala Pawon, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, Aceh, Kamis (16/11/2023). Tapi kedatangan mereka ditolak warga sekitar.

"Selain karena perang, anak-anak (juga) akan mati karena dinginnya musim dingin dan kelaparan," ujarnya.

Selain ancaman penyakit dan tempat mengungsi yang tidak layak, musim hujan di Gaza dinilai bisa menghambat pergerakan warga dan tim penyelamat.

Juru Bicara Dewan Pengungsi Norwegia, Ahmed Bayram, mengatakan awal musim hujan bisa menandai "minggu tersulit di Gaza sejak eskalasi (militer) dimulai."

"Ini akan menyulitkan tim penyelamat yang menyelamatkan orang-orang yang terjebak di bawah reruntuhan, atau menguburkan orang mati."

Badai diperkirakan akan mulai terjadi pada pekan depan karena suhu turun hingga 17 derajat Celcius lantaran memasuki musim dingin.

Baca juga: DIKIRIMI Video di Gaza, Aktivis Nangis, anak-anaknya Ketakutan Dengar Bom: Panjangkan Umur Mereka

Cuaca juga kemungkinan akan mempengaruhi pertempuran karena lumpur menghalangi pergerakan persenjataan israel.

Sementara itu, ratusan ribu pengungsi di bagian selatan Gaza, tengah berada di krisis kemanusiaan yang kian parah.

Puluhan ribu pengungsi di Deir al-Balah, sebuah kota di Gaza yang dianggap sebagai zona aman, berdesakan di gedung-gedung sekolah yang diubah menjadi tempat penampungan oleh PBB.

Seorang pengungsi bernama Hassan Abu Rashed, membeberkan bagaimana kondisi yang dihadapi para pengungsi di tempat penampungan itu.

Tak hanya kelaparan, mereka juga diintai risiko kesehatan karena sistem pembuangan limbah rusak.

"Jika Anda ingin bicara soal ruangan (tempat mengungsi), kami tidur miring karena tidak ada cukup ruang untuk berbaring telentang," kata Rashed, dikutip dari ABC News.

"Jika bicara soal pangan, kami berharap bisa mendapat beberapa potong roti per hari untuk dimakan."

"Jika bicara soal kesehatan, sistem pembuangan limbah di sekilah rusak.

Jika ingin bicara soal penyakit, di sini ada cacar air, kudis, dan kutu. Kami putus asa," beber dia.

Di salah satu sekolah di Deir al-Balah, Khaled Filfel, seorang ayah berusia 42 tahun, sendirian dan stres karena kebutuhan yang sangat spesifik.

Anaknya yang disabilitas membutuhkan popok, namun sejak eskalasi militer meningkat, Filfel tak lagi bisa mendapatkan popok.

Orang-orang berlindung dari hujan di aula yang menghadap ke halaman sekolah yang dikelola oleh Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA), di Rafah di selatan Jalur Gaza, pada 14 November 2023, (via Tribunnews)

“Putri saya yang berusia 21 tahun adalah penyandang disabilitas dan saya tidak bisa membelikan popok untuknya,” ucapnya

Badan pengungsi PBB, UNWRA, sebelumnya mempunyai rencana darurat untuk menampung 1.500 pengungsi di setiap sekolah, kata direktur badan tersebut di Gaza, Thomas White, kepada BBC.

Rata-rata sekolah yang berubah menjadi tempat penampungan sekarang menampung 6.000 orang – total 670.000 orang di 94 tempat penampungan di wilayah selatan.

“Kami kewalahan dengan jumlah tersebut,” kata White.

"Ada banyak orang di mana-mana. Sanitasi sangat buruk, rata-rata ada sekitar 125 orang per toilet, sekitar 700 orang per unit kamar mandi."

"Anda bisa merasakan kelembapan dari begitu banyak orang yang berdesakan di sekolah-sekolah ini, Anda bisa mencium bau kemanusiaan yang sangat banyak," urainya.

Untuk menghindari ruang kelas dan halaman sekolah yang padat di Deir al-Balah, beberapa pengungsi berjalan kaki singkat ke pantai dan menghabiskan siang hari di sana.

Banyak keluarga pengungsi yang mencuci diri dan pakaiannya di laut.

“Bisa dibilang kita sudah kembali ke zaman kegelapan,” kata Mahmoud al-Motawag, pengungsi berusia 30 tahun.

“Kami memanfaatkan laut untuk segala hal,” ujar dia.

“Untuk mencuci diri, mencuci pakaian, membersihkan peralatan dapur, dan sekarang untuk minum ketika kami tidak dapat menemukan air bersih."

"Kami hanya makan satu kali sehari, dan kami memohon kepada para nelayan untuk memberi kami satu atau dua ikan untuk kebutuhan sehari-hari anak-anak."

***

Sebagian artikel ini diolah dari Kompas.com