Untuk ke sekolah, Septi harus menempuh jalan yang dirimbuni pepohonan dan terdapat tebing.
Septi juga harus melewati sungai dan jembatan bambu yang sudah mulai rusak.
Belum lagi, Septi harus melewati pepohonan bambu yang terlihat angker saat hari mulai gelap.
Melansir TribunnewsBogor.com, meski harus berjalan kaki dengan kondisi jalanan yang mengerikan, Septi tetap semangat pergi ke sekolah.
"Kalau hujan juga tetap berangkat (sekolah)," kata Ayah Septi, Sumiran dilansir TribunnewsBogor.com dari Youtube Jejak Bang Ibra, Senin (29/5/2023).
Jarak yang ditempuh Septi dari rumah ke sekolah lalu kembali lagi ke rumah sekitar 3 kilometer.
Itu artinya, ia itu harus jalan kaki sepanjang 3 km setiap hari demi bisa bersekolah.
Septi biasa diantar jemput ke sekolah oleh ibu atau ayahnya pada pagi hari.
Meski harus jalan jauh, Septi pun tetap semangat dan ceria.
"Kalau sama ibu jalan kaki, kalau sama bapak kadang digendong. Karena kan (bapak) tangannya besar," kata Septi.
Bukan cuma jaraknya yang jauh dari mana-mana, keluarga Septi juga hanya tinggal seorang diri di kampung tersebut.
Semua warga di Kampung Suji itu sudah pergi meninggalkan tempat tinggal mereka, tersisa keluarga Septi.
Tinggal di rumah yang berada di tengah-tengah hutan membuat Septi akrab dengan lingkuhan sekitarnya.
Ia pun sering menghabiskan waktu untuk bermain di sungai yang berada di tengah perjalanan menuju ke rumahnya.
"Jembatannya sudah mau rusak, aku takut, tapi ya aku pilih hati-hati saja," kata Septi dengan riang.
Meski hanya tinggal bertiga saja dengan ayah dan ibunya, namun Septi mengaku nyaman.
"Tinggal di hutan seneng, aku bisa jaga hewanku. Anjing, kucing, ayam," katanya bercerita.
Rumah septi dan orangtunya pun terbilang sangat sederhana.
Terbuat dari kayu dan lantainya masih tanah, rumah Septi terlihat cukup luas.
Di sekelilingnya tampak pepohonan dan kebun bekas rumah warga yang ditinggalkan.
Sepulang sekolah, Septi biasanya makan masakan ibunya.
Masakan kesukaan Septi pun sangat sederhana, yakni nasi dan tempe bacem.
"Karena di gunung sulit kan untuk cari lauk, jadi dia makan sama tempe, kadang kecap," kata Sumiati.
Meski makan dengan lauk seadanya, Septi pun tetap ceria.
Apalagi ia sesekali bercanda dengan hewan peliharaannya yang berkeliaran di dapur.
"Kalau makan sering digangguin sama ayam dan kucing," kata Septi sambil melahap nasi dan tempe bacemnya.
Hidup dengan kondisi yang sangat sederhana, Septi nyatanya tumbuh menjadi anak yang piawai dalam hal seni.
Septi yang memiliki hobi melukis itu ternyata memiliki kemampuan menggambar dengan bagus.
Di meja belajar sederhananya yang terbuat dari papan kayu dan kursi dari drigen bekas, ia menggambar berbagai karakter favoritnya.
"Kalau mau lihat (aku) gambar, aku bisa apa saja," katanya dengan yakin.
Benar saja, di buku gambarnya itu Septi dengan luwesnya menggambar unicorn.
Dengan tangan kirinya, Septi pun menggambar unicorn dengan sangat detail dan tidak membutuhkan waktu yang lama, tidak sampai 1 menit.
"Cita-cita aku ingin jadi guru lukis," kata Septi sambil memperlihatkan hasil gambarnya.
Diolah dari artikel Surya.co.id