Dedi Mulyadi
Tangis Dedi Mulyadi Kenang Masa Kecil Hidup Sulit, Anak Bungsu dari 9 Bersaudara, Makan Saja Sulit
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi pecah tangis kala mengingat masa kecilnya yang hidup sulit.
Editor: Galuh Palupi
TRIBUNTRENDS.COM - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi pecah tangis kala mengingat masa kecilnya yang hidup sulit.
Kenangan itu muncul berawal dari Dedi Mulyadi yang mengungkap arti Ramadan untuk dirinya.
"Bagi saya, puasa Ramadan itu hanya bagian kecil saja dari proses spiritual manusia yang harus dilewati. Puasa Ramadan kita itu gampang, pagi sahur, sore buka, pasti makanannya ada.
Pertanyaannya adalah, mereka yang mengalami penderitaan, menahan lapar, tanpa ada kepastian apakah akan ada yang bisa dimakan, kan banyak yang dilewati itu," ungkap Dedi Mulyadi dikutip pada Jumat (21/3/2025).
Dedi lalu ingat bahwa dulu ia sering tidak makan sahur saat berpuasa.

Bukan karena malas, namun lantaran karena ia berasal dari keluarga sederhana, maka persediaan makanan di keluarganya terbatas.
Baca juga: Sosok Menpar Widiyanti Kritik Keras Dedi Mulyadi Bongkar Tempat Wisata Bogor: Ini Preseden Buruk
Padahal Dedi Mulyadi merupakan anak bungsu dari Sembilan bersaudara.
Saking sulitnya, Dedi mengaku pernah tidak makan selama tiga hari berturut-turut.
"Saya termasuk orang yang sejak berpuasa dulu, yang mengalami itu, hidup tidak punya kepastian. Tidak makan tiga hari tiga malam, tidak menemukan apapun kecuali minum air putih. Saya puasa dulu tidak ada pasti," pungkas Dedi.
Ketika tiba momen Ramadan, Dedi masih ingat betul dirinya jarang sekali mau bangun sahur.
Alasannya adalah karena Dedi tak ingin mengambil jatah makan kakak-kakaknya yang sudah sedikit.
Untuk diketahui, Dedi Mulyadi adalah anak kesembilan dari sembilan bersaudara.
"Saya subuh-subuh tidak makan. Karena anaknya sembilan. Saya itu di antara keluarga, selalu saya tidak mau makan. Karena saya enggak mau jatah kakak saya, saya ambil," kata Dedi.
Alih-alih santap sahur, Dedi memilih untuk pura-pura tidur.
Dedi ingin agar delapan kakaknya bisa merdekat makan sahur.
"Jadi saya selalu punya alasan ketika (disuruh sahur) 'Ded makan sahur'. Saya alasan 'enggak ah masih tidur, ngantuk'. Sesungguhnya apa? saya ngehargain kakak-kakak saya yang delapan," imbuh Dedi Mulyadi.
Baca juga: Dedi Mulyadi Tegur Kepala Samsat Soreang, Kantor Kotor dan Kursi Rusak: Mau Gak Ganti dari Duit Bpk?
Perihal alasannya mengalah untuk kakak-kakaknya itu, Dedi mengurai penjelasan.
Dedi rupanya sadar betul bahwa ibunya, Karsiti pasti akan mengutamakannya sebagai anak bungsu.
Kebiasaan jarang sahur itu rupanya dibawa Dedi hingga kini.
Diakui KDM, ia tidak pernah makan sahur sampai sekarang.

Di momen sahur, Dedi hanya minum air putih dan segera mandi lalu sholat subuh kemudian berangkat kerja.
"Karena ibu saya sayang banget sama saya. Pasti saya diutamakan. Karena saya tidak mau diutamakan, maka saya mengalah untuk tidak ikut makan. Dan kebiasaan itu sampai sekarang. Saya tidak pernah sahur. Saya selalu hanya minum air putih. Saya jam 4 kurang seperempat hanya minum air putih saja, saya mandi, sholat subuh," akui Dedi.
"Bagi saya puasa enggak ada alasan untuk kita mengurangi jam kerja," sambungnya.
Untuk diketahui, Dedi Mulyadi sempat menceritakan sosok keluarganya.
Dedi mengungkap profesi ibu dan bapaknya, mendiang Karsiti dan Sahlin Ahmad Suryana semasa hidup.
"Saya lahir dari keluarga sederhana, anak ke-9. Bapak saya tentara tapi palang III prajurit. Umur 28 tahun sudah sakit. Akhirnya tidak bisa meneruskan tugas, akhirnya resign," ungkap Dedi Mulyadi dari kanal Youtube-nya tujuh tahun lalu.
Dedi pun menceritakan sosok ibunya yang tidak bersekolah namun bisa mendidikan sembilan anak hingga berhasil.
Dedi pun sangat bangga dengan sang ibu yang kerja keras mencari nafkah demi menghidup keluarga.
"Tapi spiritnya (ibu) sangat kuat. Dia ngurus anak 9 tanpa pendidikan yang memadai. Dia pergi ke sawah membawa cangkul karena bapak saya sakit," imbuh Dedi Mulyadi.
Ibunda Dedi Mulyadi meninggal dunia di tahun 2003.
Setelah kepergian sang ibu, Dedi pun berjanji akan selalu berkeliling menemui warga dan berniat mengangkat derajat para ibu seusia mendiang ibunya. (Tribun Trends/Tribun Bogor)