Secara substansi, Revisi UU TNI dinilai bertentangan dengan agenda reformasi TNI, di mana TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara.
Sementara itu secara proses, pembahasan Revisi UU TNI dinilai kurang melibatkan masyarakat sipil dan akademisi, serta terkesan buru-buru dan tertutup.
Hal tersebut membuat masyarakat sipil, aktivis, dan akademisi menolak adanya Revisi UU TNI.
Baca juga: Rapat Revisi UU TNI di Hotel Fairmont Harusnya 4 Hari tapi Jadi 2 Hari, Sufmi Dasco: Efisiensi
Apa yang dipermasalahkan dari Revisi UU TNI?
Dilansir dari laman Kompas.com (16/3/2025), Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya Saputra menyampaikan beberapa kekhawatiran yang ada pada Revisi UU TNI.
- Revisi UU TNI berpotensi mengancam profesionalisme TNI karena banyak prajurit militer bisa masuk ke ruang sipil seperti pada masa reformasi Orde Baru 32 tahun lalu.
- Revisi UU TNI akan menambah obyek pelaksanaan operasi militer tak hanya perang.
- Pengesahan Revisi UU TNI akan menjadi pintu masuk kembalinya Dwifungsi ABRI.
- Potensi kekerasan dari TNI, di mana pendekatan keamanan yang diterapkan TNI akan semakin merugikan masyarakat karena tidak ada upaya merundingkan kebijakan pemerintah.
Selain isi Revisi UU TNI yang bermasalah, KontraS juga menilai cara pemerintah membahasnya tidak transparan.
Saat publik menyoroti Revisi UU TNI, pemerintah dan DPR justru menggelar rapat pembahasan aturan tersebut secara tertutup di hotel mewah berbintang lima.
Tindakan tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir yang mengaku UU TNI tidak akan disahkan sebelum masa reses Lebaran 2025.
Baca juga: Revisi UU TNI Berpotensi Rugikan Perekonomian Indonesia, Kok Bisa? Begini Kata Pengamat Ekonomi
Revisi UU TNI tidak sesuai UUD 1945
Dikutip dari laman Kompas.com (17/3/2025), pengamat hukum tata negara sekaligus Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti, menilai Revisi UU TNI bertentangan dengan UUD 1945.
Dia menuturkan, penambahan aturan yang membolehkan prajurit aktif menduduki jabatan-jabatan sipil dalam kementerian atau lembaga negara dinilai bisa mengembalikan dwifungsi ABRI.
Padahal, menurut Bivitri, Pasal 30 UUD 1945 telah mengatur TNI menjadi alat negara yang hanya berwenang pada bidang pertahanan.
TNI bertugas menangani persoalan pertahanan dari luar perbatasan Indonesia. Sementara Kepolisian RI (Polri) berwenang pada bidang keamanan dengan mengatur urusan di dalam negeri.
Pasal 30 bermakna prajurit TNI tidak boleh memasuki ranah keamanan, bisnis, politik, serta urusan-urusan di dalam negeri.
Jika TNI masuk ranah selain pertahanan, instansi tersebut akan memiliki tugas lainnya sehingga dapat dikatakan memiliki fungsi ganda atau dikenal dengan dwifungsi.
Sebelumnya, tiga aktivis dari KontraS dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menggeruduk rapat Revisi UU TNI yang digelar Komisi 1 DPR RI pada Sabtu (15/3/2025).
Aksi tersebut dilakukan untuk menginterupsi rapat Revisi UU TNI dan meminta agar pembahasan Revisi UU TNI ditunda karena proses dan substansi masih banyak keganjilan.
(KOMPAS.com/ Adhyasta Dirgantara/ Muhammad Zaenuddin)
Artikel ini telah tayang di KOMPAS.com