Pada pertengahan November, sebuah kelompok hak asasi manusia yang berbasis di New York mengajukan gugatan terhadap pemerintahan Biden karena “kegagalan mencegah dan terlibat dalam genosida yang dilakukan pemerintah Israel” di Gaza.
Meskipun demikian, walau secara terbuka mendesak Israel untuk melindungi warga sipil, Washington terus mendorong upaya Israel melanjutkan perang brutal.
Pada awal Desember, Washington telah memberi Tel Aviv sekitar 15.000 bom dan 57.000 peluru artileri.
Ini termasuk 100 BLU-109, bom penghancur bunker seberat 2.000 pon yang telah menewaskan banyak warga Palestina di Jalur Gaza.
Ini Deretan 'Kalimat Ngeles' Israel dari Tudingan Genosida di Gaza
Dan inilah sederet 'argumen ngeles' Israel dalam sidang gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda.
ICJ mendengarkan argumen Israel terhadap gugatan Afrika Selatan (Afsel) pada Jumat (12/1/2024). Di hari pertama sidang genosida ICJ, Kamis (11/1/2024), Afsel meminta agar pengadilan mengeluarkan perintah darurat untuk menghentikan pemboman, baik lewat udara dan invasi darat di wilayah tersebut.
Afrika Selatan mengeklaim, Israel telah melanggar Konvensi Genosida 1948 dalam perangnya melawan kelompok militan Hamas Palestina di Gaza. Hampir 24.000 orang telah terbunuh di daerah kantong tersebut sejak 7 Oktober, hampir 10.000 di antaranya adalah anak-anak. Ribuan orang lainnya hilang di bawah reruntuhan dan diperkirakan tewas.
Berikut ini isi argumen Israel di sidang genosida ICJ:
1. Gugatan Afsel Mendistorsi Tindakan Militer di Gaza
Pengajuan argumen Israel dipimpin oleh pengacara dan akademisi Inggris Malcolm Shaw KC.
Shaw berpendapat bahwa gugatan Afrika Selatan “mendistorsi” dan “mendekontekstualisasikan” tindakan militer Tel Aviv di Gaza.
2. Hak untuk Membela Diri
Israel berpendapat bahwa serangan Hamas terhadap pos-pos tentara dan desa-desa sekitar di Israel selatan – serta penculikan ratusan tawanan – pada tanggal 7 Oktober adalah awal dari perang Gaza.
Tel Aviv (mengeklaim) mempunyai hak untuk mempertahankan diri, berdasarkan hukum internasional.
Seorang advokat untuk tim Israel, Tal Becker mengatakan kepada pengadilan bahwa Konvensi Genosida dibuat setelah pembunuhan massal orang-orang Yahudi dalam Holocaust.
Frasa “tidak akan pernah lagi” adalah salah satu “kewajiban moral tertinggi” bagi Israel, kata Becker.