Akan tetapi, untuk bisa pergi menuju negara tujuan, para korban harus menyerahkan uang sebesar 100.000 hingga 120.000 taka atau sebesar Rp 14 juta hingga Rp 16 juta.
"Seorang saksi berinisial MSA, yang kami periksa, mengaku membayar 100.000 taka, atau Rp 14 juta, untuk pergi ke Indonesia, dan dijanjikan mendapat pekerjaan," ujar Fahmi, Senin (18/12/2023).
Uang yang dikumpulkan dari para korban, dipakai Amin untuk membeli kapal dan makanan. Selebihnya digunakan oleh tersangka.
Ketika berlayar, Amin juga bertindak sebagai kapten kapal dan mengurus penumpang.
Rombongan Amin, yakni sebanyak 137 warga Rohingya, berlabuh di Pantai Blang Ulam, Desa Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, pada Minggu (10/12/2023).
Berdasarkan penyelidikan polisi, dari 137 orang itu, tak semuanya merupakan pengungsi.
Dua orang di antara mereka diketahui berkewarganegaraan Bangladesh, selebihnya warga negara Myanmar.
Polisi mendapati fakta bahwa tidak semua orang dalam rombongan mempunyai kartu pengungsi dari UNHCR.
"Dari pemeriksaan saksi-saksi (warga Rohingya) yang kita tanyakan, bahwa mereka datang ke negara tujuan dalam rangka memperbaiki hidupnya, untuk mencari pekerjaan," ucap Fahmi, dikutip dari Antara.
Baca juga: Pria Myanmar Jadi Tersangka Penyelundup Rohingya, Dulu Pernah Jadi Pengungsi, Raup Rp14 Juta/Orang
Di samping itu, dari jumlah itu, beberapa orang di antaranya dibiayai oleh orangtua atau keluarganya.
Akan tetapi, orangtua dan keluarganya masih berada di kamp pengungsian Cox's Bazar.
"Jadi artinya bisa kita simpulkan untuk sementara ini, bahwa mereka bukan dalam keadaan darurat, dari negara asal menuju Indonesia.
Mereka punya tujuan yaitu mendapat kehidupan lebih baik dengan cara mencari pekerjaan di negara tujuan," ungkapnya.
Saat ini, tersangka penyelundupan Rohingya, Muhammad Amin, dijerat dengan Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Ia terancam hukuman kurungan penjara paling lama 15 tahun.
***
Artikel ini diolah dari Kompas.com