Berita Viral
Penyebab Sritex Bangkrut, Utang Menggunung Capai Rp29,8 Triliun, Badai PHK Melanda 10.669 Karyawan
Inilah penyebab PT Perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex dinyatakan pailit hingga akhirnya harus tutup permanen mulai 1 Maret 2025.
Editor: Dika Pradana
TRIBUNTRENDS.COM - Inilah penyebab perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex dinyatakan pailit hingga akhirnya harus tutup permanen mulai 1 Maret 2025.
Dalam hal ini, PT Sritex yang berlokasi di Sukoharjo, Jawa Tengah ini ternyata memiliki utang menggunung yang ditaksir mencapai Rp29,8 triliun. Utang yang tak dapat dilunasi tersebut akhirnya membuat Sritex harus gulung tikar dan tak lagi beroperasi mulai Maret 2025.
Padahal sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan jajarannya untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di PT Sritex.
Keputusan pailit PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang diumumkan oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang pada 1 Maret 2025, mengakibatkan dampak yang sangat besar bagi ribuan pekerja dan industri tekstil Indonesia.
Dengan total utang yang mencapai Rp17,1 triliun pada tahun 2020 dan aset yang hanya tercatat Rp26,9 triliun, perusahaan ini terpaksa menghadapi kenyataan pahit dengan memecat lebih dari 10.000 karyawan.
Keputusan ini, meskipun sudah melalui berbagai proses hukum, membuka tabir berbagai penyebab yang menyebabkan Sritex jatuh dalam kebangkrutan.

Masalah Keuangan dan Utang yang Membengkak
Sritex telah lama bergelut dengan masalah keuangan yang semakin parah, bahkan sebelum pandemi COVID-19.
Pada laporan keuangan September 2023, tercatat bahwa utang perusahaan mencapai Rp25 triliun.
Dalam upaya memenuhi kewajibannya kepada kreditur, termasuk PT Indo Bharta Rayon, Sritex sempat berusaha merestrukturisasi utang dan bahkan berjanji akan membayar utang berdasarkan putusan homologasi pada Januari 2022.
Namun, janji tersebut tidak dipenuhi, yang akhirnya memicu gugatan lebih lanjut dan berujung pada keputusan pailit.
Pada 30 Juni 2024, total utang jangka panjang dan pendek Sritex tercatat mencapai USD1,6 miliar, yang sebagian besar berasal dari pinjaman bank dan obligasi. Gagalnya pembayaran utang ini memperburuk citra dan stabilitas finansial Sritex yang sebelumnya merupakan produsen tekstil besar dengan kapasitas produksi 24 juta potong kain per tahun dan jangkauan pasar internasional.
Krisis Global dan Persaingan Ketat
Selain masalah keuangan internal, Sritex juga menghadapi dampak dari krisis global yang menyebabkan penurunan pendapatan yang signifikan.
Pandemi COVID-19 memukul industri tekstil, di samping persaingan yang semakin ketat dari negara-negara lain, khususnya China.
Sritex melaporkan adanya gangguan supply chain dan penurunan ekspor, yang disebabkan oleh kondisi geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina dan ketegangan Israel-Palestina, yang berimbas pada perubahan prioritas permintaan di pasar Eropa dan Amerika Serikat.
Selain itu, kebijakan harga yang tidak menguntungkan dari produk tekstil China turut memberi dampak besar bagi pasar lokal dan internasional.
Produk tekstil dari China yang dijual tanpa bea masuk antidumping serta tarif barrier menyebabkan terjadinya dumping harga, memaksa perusahaan-perusahaan tekstil Indonesia, termasuk Sritex, untuk berjuang mempertahankan harga jual yang kompetitif.
Namun, upaya tersebut tidak cukup untuk mengatasi dampak persaingan harga yang keras di pasar global.

Tantangan Kewajiban Pembayaran Utang kepada Kreditur
Seiring dengan masalah keuangan yang menggunung, Sritex juga menghadapi gugatan dari kreditur lain sebelum akhirnya dinyatakan pailit.
Sebagai contoh, pada 2021, Sritex digugat oleh CV Prima Karya, yang juga merupakan kontraktor pabrik Sritex, dengan jumlah utang mencapai Rp5,5 miliar.
Meskipun Sritex sempat berjanji untuk tetap menjalankan operasionalnya dan mempertahankan keberlanjutan usaha, namun, kenyataan bahwa mereka gagal membayar utang membuat situasi semakin sulit dan akhirnya menyebabkan kebangkrutan.
Selain itu, PT Senang Kharisma Textil (SKT) yang merupakan anak perusahaan Sritex juga mengalami gugatan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) dari bank dan supplier, memperburuk situasi keuangan keluarga besar Sritex.
Dampak bagi Karyawan dan Dunia Bisnis Indonesia
Kebangkrutan Sritex menandai akhir dari perjalanan panjang perusahaan tekstil yang pernah menjadi kebanggaan Indonesia.
Dampak terbesar dari keputusan pailit ini adalah hilangnya pekerjaan bagi lebih dari 10.000 karyawan yang sebelumnya mengandalkan perusahaan tersebut sebagai sumber penghidupan.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang massal mulai terjadi sejak Januari 2025, memaksa ribuan keluarga menghadapi ketidakpastian ekonomi. Pada 26 Februari 2025, gelombang PHK besar-besaran terjadi di beberapa anak perusahaan Sritex.
Selain itu, kebangkrutan Sritex juga memberikan dampak buruk bagi dunia bisnis dan manufaktur Indonesia, yang kehilangan salah satu pemain besar dalam industri tekstil.
Industri tekstil yang sebelumnya menjadi sektor vital ekonomi Indonesia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa persaingan ketat dan krisis global telah membawa salah satu perusahaan terbesar dalam sektor ini jatuh.
Masyarakat berharap agar pemerintah dapat memberikan dukungan kepada karyawan yang terdampak PHK untuk membantu mereka dalam mencari pekerjaan baru, serta memitigasi dampak sosial yang timbul akibat kebangkrutan ini.
(TribunTrends.com/Kompas.com/Erwina)
Sumber: Kompas.com
Sosok Pramugara AirAsia Viral Disebut Mirip Lee Min Ho, Videonya Sudah Ditonton Jutaan Kali |
![]() |
---|
Aktivitas Ahmad Husein Usai Damai dengan Sudewo Bupati Pati: Beli Motor, Karaoke hingga Mabuk |
![]() |
---|
Potret Rumah Bocah Raya yang Viral Meninggal dengan Tubuh Penuh Cacing, Buat Prihatin! |
![]() |
---|
Tragedi di Pesantren! Santri Tewas dengan Al-Quran di Pelukan, Sempat Ucap Takbir & Lari ke Musala |
![]() |
---|
Koordinator Demo Pati Pilih Motor Usai Damai dengan Sudewo, Tinggalkan Orasi untuk Kendaraan Baru |
![]() |
---|