Berita Viral
Padahal Sudah di Depan Mata, Kapal Kayu Berisi Pengungsi Rohingya Ditolak Warga Aceh, Ini Alasannya
Warga Aceh ungkap alasan mengapa mereka menolak kapal kayu berisi ratusan pengungsi Rohingya, singgung soal ketakutan.
Editor: jonisetiawan
TRIBUNTRENDS.COM - Sebuah kapal kayu yang membawa ratusan pengungsi Rohingya menepi di perairan Aceh pada Kamis (16/11/2023).
Kapal tersebut dikabarkan hendak bersandar di desa tepi Pantai Gampong Kuala Pawon, Kecamatan Jangka, Bireuen, Aceh.
Namun, kedatangan mereka ditolak masyarakat setempat.
Sejumlah warga pun tampak berkumpul di Pantai Gampong Kuala Pawon, mereka menolak pendaratan kapal pengangkut pengungsi Rohingya.
Baca juga: Pria di Aceh Tersambar Petir, Tubuhnya Langsung Dilumuri Lumpur, Beruntung Nyawa Korban Tertolong

Dalam video yang beredar, kapal sepanjang 50 meter tersebut terlihat terombang-ambing oleh ombak beberapa meter dari bibir pantai.
Dari kapal kayu, ratusan pengungsi tampak melambaikan tangan untuk minta pertolongan.
Namun warga membalasnya dengan gerakan meminta pengungsi meninggalkan pantai.
Sementara itu beberapa warga berinisiatif membantu pengungsi dengan mengantarkan beras serta mi instan.
Bantuan tersebut diantarkan oleh warga ke kapal kayu pengungsi Rohingya dengan menggunakan boat.
Namun setelah diterima, bantuan tersebut langsung dibuang ke laut oleh pengungsi.
Dengan bahasa isyarat, mereka mengungkapkan bahwa bukan bantuan yang dibutuhkan, tapi izin untuk mendarat.
Melihat bantuan dibuang ke laut, warga tetap tidak memperbolehkan pengungsi untuk mendarat ke pantai.

Keuchik Pulo Pineung Meunasah Dua/Kuala Pawon, Jangka, Mukhtar mengatakan, masyarakat menolak kedatangan imigran Rohingya karena khawatir mereka mendatangkan banyak masalah.
Kekhawatiran tersebut muncul berdasarkan pengalaman sebelumnya yakni saat para pengungsi Rohingya mendarat di Jangka pada 6 Maret 2020.
Kala itu para pengungsi Rohingya mendarat di Pesisir Gampong Alue Buya Pasi, Jangka.
“Berdasarkan pengalaman tersebut, maka warga menolak para pengungsi Rohingya untuk mendarat di pesisir Jangka,” terangnya.
Baca juga: Pengungsi Pilu, Hujan di Gaza bak Tambah Derita, Tenda Roboh, Anak-anak Terancam Mati Kedinginan
Penolakan dilakukan agar kawasan mereka tetap aman.
Sementara itu, Faisal selaku perwakilan UNHCR yang berada di lokasi dan menerjemahkan keinginan para pengungsi.
Ia mengatakan ada sekitar 249 jiwa dalam kapal kayu tersebut, termasuk anak-anak dengan tujuan mencari perlindungan.
Saat diminta tanggapan oleh perwakilan UNHCR, Keuchik Mukhtar mewakili masyarakat tetap keberatan untuk menampung para pengungsi di tempat mereka.
“Saya selaku keuchik, terserah pihak pemerintah kabupaten atau provinsi.
Ya silakan bawa ke sana, jadi bapak bisa membantu dan memberi makanan bagi mereka, tapi tidak di sini,” tegasnya.
Berita Lain: Hujan di Gaza bak Tambah Derita, Tenda Roboh, Pengungsi Terancam
Hujan di Gaza bak menambah penderitaan bagi warga Palestina yang hidup di pengungsian.
Bagaimana tidak, hujan membuat tenda-tenda mereka roboh berantakan.
Tak hanya itu, hawa dingin akibat hujan juga menjadi ancaman bagi nyawa anak-anak.
Padahal saat ini, Gaza tengah diterpa wabah diare.
Baca juga: MIRIS Kondisi di Rumah Sakit, RS Al-Shifa di Gaza Terpaksa Makamkan 179 Orang di Kuburan Massal

Kondisi memilukan ini membuat pihak WHO semakin khawatir.
Kita sudah mengalami wabah penyakit diare," ungkap Juru Bicara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Jenewa, Margaret Harris, dilansir Arab News.
Harris mengatakan ada lebih dari 30 ribu kasus diare pada periode di mana WHO biasanya memperkirakan 2.000 kasus.
“Kami mengalami banyak kerusakan infrastruktur. Kami kekurangan air bersih."
"Ini adalah alasan lain mengapa kami memohon agar gencatan senjata dilakukan sekarang,” katanya.
"Hujan hanya akan menambah penderitaan," imbuh dia.
Baca juga: AKIBAT Israel Blokade Listrik RS Al-Shifa Gaza: 39 Bayi Kritis, 2 Meninggal, Dokter Pakai Senter HP
Kekhawatiran tentang hujan musim dingin juga dirasakan oleh warga Gaza yang mengungsi.
Menurut reporter Associated Press (AP), pengungsi di luar rumah sakit di Deir al-Balah pada Selasa, berjuang melewati kondisi berlumpur saat mereka membentangkan terpal plastik di atas tenda yang tipis.
"Semua tenda roboh karena hujan," ujar seorang pengungsi, Iqbal Abu Saud.
"Berapa hari kami harus menghdapi situasi seperti ini?"
Pengungsi di tempat penampungan PBB di Khan Younis di Gaza selatan, mengatakan tenda tempat mereka bernaung bukan tipe yang tahan banjir.
"Terpal nilon, tenda, dan kayu tidak akan tahan terhadap banjir.
Orang-orang tidur di lantai, apa yang akan mereka lakukan? Ke mana mereka akan pergi?" kata Fayeza Srour.
Pengungsi lainnya, Karim Mreish, mengatakan orang-orang di tempat penampungan berdoa agar hujan berhenti.
Semua pengungsi, ujar Mreish, akan merasa kesulitan jika hujan turun.

"Anak-anak, perempuan, orang lansia, (semua) berdoa kepada Tuhan agar tidak turun hujan."
"Jika hal ini terjadi (hujan terus mengguyur), maka akan sangat sulit dan kata-kata tidak akan mampu menggambarkan penderitaan kami," beber dia.
Seorang pengungsi lainnya mengatakan kepada AlJazeera, situasi kemanusiaan di Gaza semakin mendesak.
"Selain karena perang, anak-anak (juga) akan mati karena dinginnya musim dingin dan kelaparan," ujarnya.
Selain ancaman penyakit dan tempat mengungsi yang tidak layak, musim hujan di Gaza dinilai bisa menghambat pergerakan warga dan tim penyelamat.
Juru Bicara Dewan Pengungsi Norwegia, Ahmed Bayram, mengatakan awal musim hujan bisa menandai "minggu tersulit di Gaza sejak eskalasi (militer) dimulai."
"Ini akan menyulitkan tim penyelamat yang menyelamatkan orang-orang yang terjebak di bawah reruntuhan, atau menguburkan orang mati."
Badai diperkirakan akan mulai terjadi pada pekan depan karena suhu turun hingga 17 derajat Celcius lantaran memasuki musim dingin.
Baca juga: DIKIRIMI Video di Gaza, Aktivis Nangis, anak-anaknya Ketakutan Dengar Bom: Panjangkan Umur Mereka
Cuaca juga kemungkinan akan mempengaruhi pertempuran karena lumpur menghalangi pergerakan persenjataan israel.
Sementara itu, ratusan ribu pengungsi di bagian selatan Gaza, tengah berada di krisis kemanusiaan yang kian parah.
Puluhan ribu pengungsi di Deir al-Balah, sebuah kota di Gaza yang dianggap sebagai zona aman, berdesakan di gedung-gedung sekolah yang diubah menjadi tempat penampungan oleh PBB.
Seorang pengungsi bernama Hassan Abu Rashed, membeberkan bagaimana kondisi yang dihadapi para pengungsi di tempat penampungan itu.
Tak hanya kelaparan, mereka juga diintai risiko kesehatan karena sistem pembuangan limbah rusak.
"Jika Anda ingin bicara soal ruangan (tempat mengungsi), kami tidur miring karena tidak ada cukup ruang untuk berbaring telentang," kata Rashed, dikutip dari ABC News.
"Jika bicara soal pangan, kami berharap bisa mendapat beberapa potong roti per hari untuk dimakan."
"Jika bicara soal kesehatan, sistem pembuangan limbah di sekilah rusak.
Jika ingin bicara soal penyakit, di sini ada cacar air, kudis, dan kutu. Kami putus asa," beber dia.
Di salah satu sekolah di Deir al-Balah, Khaled Filfel, seorang ayah berusia 42 tahun, sendirian dan stres karena kebutuhan yang sangat spesifik.
Anaknya yang disabilitas membutuhkan popok, namun sejak eskalasi militer meningkat, Filfel tak lagi bisa mendapatkan popok.

“Putri saya yang berusia 21 tahun adalah penyandang disabilitas dan saya tidak bisa membelikan popok untuknya,” ucapnya
Badan pengungsi PBB, UNWRA, sebelumnya mempunyai rencana darurat untuk menampung 1.500 pengungsi di setiap sekolah, kata direktur badan tersebut di Gaza, Thomas White, kepada BBC.
Rata-rata sekolah yang berubah menjadi tempat penampungan sekarang menampung 6.000 orang – total 670.000 orang di 94 tempat penampungan di wilayah selatan.
“Kami kewalahan dengan jumlah tersebut,” kata White.
"Ada banyak orang di mana-mana. Sanitasi sangat buruk, rata-rata ada sekitar 125 orang per toilet, sekitar 700 orang per unit kamar mandi."
"Anda bisa merasakan kelembapan dari begitu banyak orang yang berdesakan di sekolah-sekolah ini, Anda bisa mencium bau kemanusiaan yang sangat banyak," urainya.
Untuk menghindari ruang kelas dan halaman sekolah yang padat di Deir al-Balah, beberapa pengungsi berjalan kaki singkat ke pantai dan menghabiskan siang hari di sana.
Banyak keluarga pengungsi yang mencuci diri dan pakaiannya di laut.
“Bisa dibilang kita sudah kembali ke zaman kegelapan,” kata Mahmoud al-Motawag, pengungsi berusia 30 tahun.
“Kami memanfaatkan laut untuk segala hal,” ujar dia.
“Untuk mencuci diri, mencuci pakaian, membersihkan peralatan dapur, dan sekarang untuk minum ketika kami tidak dapat menemukan air bersih."
"Kami hanya makan satu kali sehari, dan kami memohon kepada para nelayan untuk memberi kami satu atau dua ikan untuk kebutuhan sehari-hari anak-anak."
***
Sebagian artikel ini diolah dari Kompas.com
Sumber: Kompas.com
Bupati Landak Kalbar Geram ASN Abai Upacara HUT RI, Perilaku Tak Disiplin: Kami Pastikan Ada Sanksi |
![]() |
---|
Sosok Painem Pedagang Tegur Wisatawan Telaga Sarangan Magetan, Sudah Jualan di Situ 50 Tahun |
![]() |
---|
Nasib Karisto Gideon Dimara Paskibraka Papua Barat Daya yang Nyaris Pingsan, Kini Dilirik Menkumham |
![]() |
---|
Nasib Tim Drumband MTsN 7 Jambi Pasca Insiden Lagu Ulang Tahun, Diundah Tampil di Karnaval Kabupaten |
![]() |
---|
'Bukan Istri Saya' Camat Sungai Bahar Jambi Bantah Insiden Lagu Ganggu Drumband MTsN 7: Tidak Tahu |
![]() |
---|