TRIBUNTRENDS.COM - Di balik seragam loreng dan sumpah setia pada negara, tersimpan jeritan pilu seorang prajurit muda yang perlahan meregang nyawa, jauh dari pelukan keluarganya.
Prada Lucky Chepril Saputra Namo, baru seumur jagung mengenakan baret hijau, namun tubuhnya sudah babak belur karena siksaan sesama rekan satu korps.
“Kak Lusi, saya ada sakit.” Kalimat itu diucapkan Prada Lucky kepada kakaknya, Novilda Lusiana Hetinina Namo, hanya sebulan setelah ia resmi bertugas di Batalion Teritorial Pembangunan (TP) 834 Waka Nga Mere, Nagekeo, NTT.
Ternyata itu adalah sebuah keluhan ringan yang menyembunyikan luka yang jauh lebih dalam dari sekadar fisik.
Lusi mengingat jelas malam ketika adiknya menelpon saat ia tengah sibuk bekerja.
Dengan suara lemah, sang adik mengeluh sakit dan merasa tak sanggup lagi menahan beban yang seharusnya tak pernah ditanggung sendirian.
“Dia curhat saya pernah, sekitar bulan lalu, itu chat-nya masih ada, dia telepon saya ketika saya sedang kerja.
Dia bilang 'kak Lusi, saya ada sakit'.
Saya bilang berobat dulu adek ke kesehatan gitu, minum obat,” ujar Lusi lirih, mengutip kenangan pahit yang kini menghantuinya.
Tapi rasa sakit itu tak hanya berasal dari tubuhnya yang mulai melemah.
Prada Lucky menderita bukan karena tugas negara, melainkan karena perlakuan bengis para seniornya.
Ia dihantam, dipukuli, bahkan disiksa, hanya karena dianggap terlalu lelah saat bekerja di dapur.
“Senior pikir saya capek kerja,” kata Lusi menirukan ucapan adiknya.
Setiap hari, Prada Lucky harus bangun pukul tiga dini hari.
Tugasnya adalah menyiapkan makanan untuk para personel di batalion.