Kabupaten Klaten

Sejarah Yaa Qawiyyu: Sebar Apem, Simbol Persatuan dan Ampunan dari Jatinom

Editor: Delta Lidina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TRADISI YAA QAWIYYU - Gunungan Apem Yaa Qawiyyu Lanang (laki-laki) dan Wadon (perempuan) dari Amphiteater, Jumat (8/8/2025).

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Ibnu Dwi Tamtomo

TRIBUNTRENDS.COM, KLATEN - Tradisi ratusan tahun di Jatinom, Kabupaten Klaten, masih terus dijaga dan dirawat masyarakat hingga kini. 

Ialah tradisi Saparan Yaa Qawiyyu, atau yang dikenal dengan Sebar Apem, sebuah kearifan lokal yang sarat makna spiritual dan sosial.

Tahun ini, Saparan Yaa Qawiyyu dilaksanakan pada Jumat Pahing, 8 Agustus 2025 atau 13 Sapar 1959 Dal dalam penanggalan Jawa. 

Tradisi ini berlangsung setiap bulan Sapar, sesuai kalender Jawa Islam (Aboge), khususnya antara tanggal 12 hingga 20.

Dalam keterangan tertulisnya, KRT Moh. Daryanta Rekso Hastonodipuro menyebutkan bahwa tradisi ini berakar dari keteladanan Kiai Ageng Gribig, seorang ulama penyebar Islam yang baru kembali dari ibadah haji pada tahun 1619 Masehi.

Sesampainya di Jatinom, Kiai Ageng Gribig menggelar majelis zikir dan tahlil selepas Salat Jumat. Dalam majelis tersebut, beliau membagikan oleh-oleh kue apem kepada para santri dan tamu yang hadir. 

TRADISI YAA QAWIYYU - Sebaran apem yang menjadi puncak tradisi Yaa Qawiyyu  di Lapangan Klampeyan, kompleks Makam Kiai Ageng Gribig, Kelurahan Jatinom, Kecamatan Jatinom, Klaten dibanjiri ribuan warga, pada Jumat (8/8/2024). (TribunSolo/Ibnu Dwi Tamtomo)

Namun, karena jumlahnya tidak cukup, sang istri, Nyai Ageng (Raden Ayu Mas Winongan), segera membuat kue apem hangat untuk dibagikan kepada seluruh yang hadir.

Dari kisah sederhana ini, lahirlah tradisi andum apem atau sebar apem, yang menjadi simbol penting dalam perayaan Yaa Qawiyyu.

Simbol Ampunan dan Persatuan

Kue apem yang disebarkan dalam tradisi ini bukan sekadar hidangan, tetapi menyimpan pesan simbolik yang dalam. 

Baca juga: Meriah! Bupati Klaten Hamenang Ikuti Kirab Gunungan Apem Ya Qawiyyu Sambil Bagikan Makanan ke Warga

Kata “apem” berasal dari bahasa Arab al-‘afwu atau ‘afwun yang berarti ampunan. Maknanya, masyarakat diajak untuk senantiasa memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Tak hanya itu, bentuk apem yang bulat melambangkan kebulatan tekad dan persatuan. 

Tradisi ini mengajak masyarakat untuk menjaga kerukunan, tidak berpecah belah, serta saling memaafkan.

Penyusunan gunungan apem pun memiliki filosofi tersendiri. 

Gunungan disusun bertingkat dengan pola 4-2-4-4-3, mencerminkan jumlah rakaat dalam salat lima waktu, Isya, Subuh, Zuhur, Asar, dan Magrib.

Apem-apem tersebut kemudian disebar dari atas menara kepada ribuan warga yang menanti di bawah, sebagai lambang berbagi berkah dan saling memaafkan.

Dilindungi Sebagai Warisan Budaya

Tradisi Yaa Qawiyyu tidak hanya dijaga secara turun temurun oleh masyarakat Jatinom, namun juga telah mendapat pengakuan dan perlindungan dari negara. 

Tradisi ini telah didaftarkan sebagai bagian dari Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, tradisi ini tercatat dalam Pusat Data Nasional Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) dengan nomor pencatatan EBT33202200217, diklasifikasikan sebagai budaya sakral terbuka.

Perayaan Yaa Qawiyyu bukan sekadar ritual adat, tetapi juga ruang kebersamaan, penguatan spiritual, dan pelestarian budaya Islam-Jawa yang telah hidup sejak lebih dari empat abad lalu. (*)