Sejak 1990-an, keluarganya telah melaporkan hilangnya Hernik ke polisi.
“Tapi ditolak karena dokumen tidak lengkap.
Tidak ada KTP dan foto,” ujarnya.
Tak putus asa, mereka terus mencari dan menyebarkan informasi mengenai diri Hernik.
Setiap tahun terus mencari, meski perekonomian keluarga mereka tak stabil.
Bapaknya, Dulpai, bekerja sebagai tukang becak sementara ibunya buruh cuci.
Sekitar tahun 2000-an, Nurul mulai memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi tentang Hernik.
Baca juga: Amankan Uang Rp 65 Juta, Tenda Korban Gempa Cianjur Kebanjiran, Harta Hilang Buat Bangun Rumah
“Mencari dengan cara apapun.
Berbekal dorongan kakak, saya sebar ke Twitter dan Facebook,” ujarnya. Mereka yakin jika Hernik masih hidup.
Hati Nurul teriris, lantaran bapaknya yang terserang stroke di akhir hidupnya selalu menyebut nama Hernik.
Dulpai meninggal dunia sebelum sempat bertemu kembali dengan Hernik.
Hernik pergi tanpa pamit dari rumahnya di Kota Malang pada 1986-an.
Saat berusia 17 tahun, bersama teman-temannya ia mengadu nasib sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke Malaysia.
Selama 22 tahun kemudian, Hernik bekerja di Malaysia dan memutuskan mengikuti seorang lelaki yang berjanji menikahinya ke Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Saat ia pergi itu, tak ada pesan yang ditinggalkan.