Breaking News:

Iran vs Israel

Petaka Besar Israel Sabotase Negosiasi Nuklir Teheran - Washington, Blunder Tak Disadari Netanyahu

Inilah petaka Israel sabotase negosiasi nuklir Teheran - Washington, blunder fatal yang tak disadari Benjamin Netanyahu, dimanfaatkan Donald Trump

Editor: Agung Santoso
Kompas.com
Inilah petaka Israel sabotase negosiasi nuklir Teheran - Washington, blunder fatal yang tak disadari Benjamin Netanyahu, dimanfaatkan Donald Trump 

Inilah petaka Israel sabotase negosiasi nuklir Teheran - Washington, blunder fatal yang tak disadari Benjamin Netanyahu, dimanfaatkan Donald Trump

Analisis Oleh: Setya Krisna Sumargo, Wartawan Tribun Jogja

Saat Dunia Arab Bertaruh untuk Iran, Demi Membendung Laju Superioritas Israel Raya. Langit Timur Tengah baru saja meredup dari kobaran api perang yang membakar cakrawala selama berhari-hari. Israel dan Iran, dua musuh bebuyutan, kini mengklaim kemenangan setelah saling meluncurkan amarah dalam bentuk rudal, drone, dan propaganda. Tapi benarkah perang ini usai? Atau ini hanya senyap sebelum badai yang lebih besar?

Tel Aviv dengan penuh percaya diri mengumumkan: misi selesai. Mereka menyebut target utama telah tercapai — kemampuan nuklir Iran dilumpuhkan setelah fasilitas strategis Fordow, Natanz, dan Isfahan dihancurkan menjadi puing-puing. Rudal balistik Iran, menurut Israel, telah dibungkam oleh serangan presisi sejak 13 Juni 2025. Skuadron udara Teheran pun diklaim runtuh, bahkan sebelum sempat meninggalkan hanggar.

Namun, di balik gegap gempita pernyataan itu, muncul tanya besar: Apakah benar Fordow, benteng bawah tanah Iran yang legendaris, hancur? Apakah nuklir Iran benar-benar lumpuh? Dunia meragukan. Iran justru berpesta pora, merayakan 'kemenangan suci' yang mereka yakini sebagai bentuk pertahanan martabat bangsa.

Di jalanan Teheran, Baghdad, Beirut, hingga Karachi, rakyat turun dengan bendera dan air mata. 29 jenderal Iran gugur sebagai syuhada, dan nama-nama mereka kini dielu-elukan seperti para pahlawan dari kitab-kitab lama. Di tengah keterpurukan ekonomi yang menyesakkan, perang ini justru menjadi pelecut semangat kebangkitan nasional.

Petaka baru Israel setelah perang lawan Iran, gelombang tuntutan ganti rugi rakyatnya akibat rumah hancur lebur, Netanyahu stres berat
Petaka baru Israel setelah perang lawan Iran, gelombang tuntutan ganti rugi rakyatnya akibat rumah hancur lebur, Netanyahu stres berat (Tribun Network)

Lebih dari itu, Iran menunjukkan taringnya. Rudal-rudal balistik hipersonik mereka melesat dan menghantam jantung-jantung kota penting Israel — Tel Aviv, Haifa, Eilat, dan gurun Negev. Dunia tercengang. Untuk pertama kalinya, rakyat Israel merasakan horor yang selama ini hanya terjadi di Gaza dan Ramallah. Kerusakan di negeri mereka kini serupa dengan apa yang selama ini mereka timpakan pada Palestina.

Realitas pun bergeser. Kini, tak ada lagi keyakinan bahwa Israel tak terkalahkan. Jika bukan karena bantuan militer dari Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan kekuatan-kekuatan Barat lainnya, mungkinkah Israel tetap berdiri? Tanda tanya besar kini menggantung di udara.

Benar, Israel masih mendominasi udara, dengan skuadron jet tempur siluman F-35 Adir yang tak tertandingi. Tapi kekuatan absolut mereka mulai tergerus oleh determinasi musuh yang tak lagi takut mati.

Dalam konferensi pers bersejarah pada 16 Juni 2025, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berkata dengan suara penuh keyakinan: "Kami telah mengubah wajah Timur Tengah."

Tapi dunia pun bertanya: Untuk siapa wajah itu berubah? Untuk perdamaian, atau untuk pertempuran yang lebih besar?

Bersiap bekingi Iran? Inilah Hipersonik Oreshnik, senjata andalan Rusia yang daya jelajahnya bisa jangkau Amerika Serikat, pantas NATO cemas
Bersiap bekingi Iran? Inilah Hipersonik Oreshnik, senjata andalan Rusia yang daya jelajahnya bisa jangkau Amerika Serikat, pantas NATO cemas (Tribun Network)

Agenda Tersembunyi Netanyahu: Sengaja Ubah Wajah Timur Tengah?

Tiga hari sebelumnya, serangan-serangan hebat diarahkan ke Teheran, fasilitas-fasilitas militer dan nuklirnya, operasi sabotase dan pembunuhan para komandan militer dan ilmuwan Iran.
Pertanyaannya, benarkah Netanyahu dan Israel mengubah wajah Timur Tengah? Perubahan apa yang dimaksudkannya? 

Agresi Israel ke Iran dalam perspektif geopolitik strategis tampaknya memiliki dua kemungkinan paling besar sebagai latar belakangnya.

Pertama, Netanyahu secara sepihak ingin menyabotase agenda Trump dan negosiasi nuklir Teheran-Washington, yang hasilnya mungkin akan membahayakan Israel. Kedua, Netanyahu menjalankan agenda Trump menggunakan cara paksa agar Iran menyerah dan tunduk pada proposal Washington di meja perundingan.

Opsi kedua tampaknya lebih masuk akal, namun dengan pertimbangan taktis strategis Trump untuk tidak sampai mendongkel rezim Khamenei. Netanyahu dan Trump bersekongkol dengan pukulan pamungkas diputuskan Trump  untuk menjatuhkan bom penghancur bunker lewat pembom strategis B-2 Spirit pada 22 Juni 2025.

Sesudah itu, perang berhenti dengan deklarasi gencatan senjata yang diumumkan Donald Trump dari Washington.

Amerika Gabung Israel Bombardir Iran, Fokus Ngebom ke Fasilitas Pengembangan Nuklir Iran di Fordow, Natanz dan Isfahan
Amerika Gabung Israel Bombardir Iran, Fokus Ngebom ke Fasilitas Pengembangan Nuklir Iran di Fordow, Natanz dan Isfahan (Kompas.com)

Menariknya, Trump lantas mempersilakan Teheran melanjutkan ekspor minyaknya, dan Tiongkok boleh mengapalkan impor minyaknya dari Iran.   

Ini tentu saja hal sangat menarik dari pribadi Donald Trump yang impulsif dan serba tak terduga gaya politiknya.

Hal lain, Trump sepertinya tetap ingin mempertahankan keseimbangan di Timur Tengah, dengan membuat Israel tidak memborong seluruh kemenangan.

Secara tiba-tiba menghentikan perang Israel-Iran, bagi Trump adalah usahanya mencegah dunia Arab semakin terpinggirkan.   

Ini yang dibaca Mohamed Sweidan, peneliti studi strategis di situs The Cradle. Sweidan menulis di berbagai platform media, yang kajiannya fokus urusan Rusia dan politik Turki. Menurutnya, jika Tel Aviv muncul dari konfrontasi ini sebagai pihak yang dominan, dunia Arab kehilangan pengaruh terakhirnya yang berarti.

Kemenangan Israel yang menentukan atas Iran dan sekutu-sekutunya di Gaza, Lebanon, Irak, dan Yaman akan menghilangkan penghalang terakhir bagi perluasan wilayah Israel Raya.
Ini doktrin kuno yang dipercaya kelompok ultranasionalis, Israel Raya mencakup semua wilayah

Palestina, Lebanon, sebagian Suriah, sebagian Yordania, sebagian Irak dan Iran, dan sebagian Mesir serta Arab Saudi. Perjuangan Palestina – yang selama ini menjadi kartu tekanan strategis bagi pemerintah Arab – akan dibongkar dalam semalam. 

Para penguasa Teluk, yang dulunya terlindungi oleh persaingan regional, akan mendapati diri mereka dalam tekanan kuat Israel yang semakin berani. Namun hanya dalam 12 hari, Presiden AS Donald Trump “menyelamatkan” dunia Arab, menghentikan Iran, dan menolong Benyamin Netanyahu lolos dari ancaman hukum dan tekanan politik dalam negeri.

Mungkin jika mencari siapa sesungguhnya yang menang dalam perang kali ini, agaknya Donald Trump yang mengambil keuntungan jauh lebih banyak. 

Ambisi Radikal Israel 
Jauh sebelum perang langsung dengan Iran, menteri-menteri terkemuka Israel telah menyerukan aneksasi resmi Tepi Barat yang diduduki, merencanakan pendudukan kembali Gaza dalam jangka panjang, mendistribusikan peta yang menghapus Garis Hijau 1967, dan mempercepat pembangunan permukiman.

Bahkan sebelum Operasi Banjir Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023, para menteri di kabinet Netanyahu telah mendorong aneksasi Tepi Barat yang diduduki, membubarkan Otoritas Palestina (PA), dan menduduki Gaza secara permanen. 

Para pejabat Israel telah mengumumkan kesiapan mereka untuk tahun 2025 sebagai "Tahun Kedaulatan Israel" atas "Yudea dan Samaria" (Tepi Barat yang diduduki), setelah mempersiapkan infrastruktur yang diperlukan untuk itu.

Jika Iran dapat dikesampingkan, mereka percaya, Hizbullah melemah, dan Suriah sekarang dikuasai pemerintahan yang dibentuk barat dengan akar mendalam di Al-Qaeda.

Tel Aviv akan bebas untuk menggambar ulang perbatasan, memperkuat permukiman, dan melakukan pemindahan massal warga Palestina, dengan perlawanan minimal.

Bahkan ancaman serangan balik regional telah berkurang di benak pejabat pemerintah sayap kanan Israel

Kekalahan atau marginalisasi Poros Perlawanan akan menghilangkan hambatan terakhir yang berarti bagi ambisi Israel – yang memungkinkan Tel Aviv untuk menyusun kembali geografi politik wilayah tersebut dari Sungai Yordan hingga Mediterania sesuai dengan tujuan maksimalis Zionis untuk 'Israel Raya'.

Mazhab hubungan internasional realis mengusulkan sebuah konsep yang disebut "Memanfaatkan Kemenangan Militer," yang sebenarnya cukup sederhana.

Ketika sebuah pihak memenangkan perang besar, ia dapat menggunakan kekuatan dan reputasi yang baru diperolehnya untuk mendorong perubahan kebijakan yang sebelumnya mustahil. 
Tentara yang menang lebih kuat, musuh-musuhnya lebih lemah, dan semua orang baru saja melihat mereka siap dan mampu berperang.

Jadi, untuk waktu yang singkat, peta pangkalan regional menjadi tanah liat lepas yang dapat dibentuk oleh pemenang sesuai keinginannya.

Jika Israel muncul sebagai pemenang yang jelas, ia akan dengan sengaja berusaha untuk menjungkirbalikkan keseimbangan strategis yang telah menentukan batas-batas dan pusat-pusat kekuasaan di Asia Barat selama beberapa dekade. 

Negara-negara Arab yang dulunya tanpa sadar mengandalkan payung pencegah Iran untuk mengekang rencana regional Israel yang luas akan kehilangan penyangga terakhir mereka jika Republik Islam itu jatuh sekarang.

Tel Aviv akan menggunakan pengaruh yang tak terkendali, tidak hanya atas Palestina, tetapi juga atas negara-negara tetangga Arabnya, melalui pemaksaan ekonomi, perintah politik, dan tatanan keamanan regional yang direkayasa ulang yang berpusat pada dominasinya sendiri.

Arab Butuh Iran 
Hampir dalam semalam, "musuh bebuyutan" Iran di Teluk Persia dan Arab menyadari keinginan mereka selama puluhan tahun untuk menetralkan kekuatan Iran harus dihitung ulang. 
Mereka telah berkembang pesat dari payung keamanan yang disediakan Teheran, dan tanpanya, dapat menjadi pion dalam agenda hegemonik Israel.

Selama beberapa dekade, keseimbangan kekuatan yang rumit telah menentukan Asia Barat. Baik Iran maupun Israel tidak dapat sepenuhnya mendominasi. Keduanya menghadapi biaya yang serius untuk agresi dan operasi militernya. Iran menjaga jaringan perlawananya dengan Hizbullah di Lebanon dan Houthi Yaman, sebagai penyeimbang rencana AS-Israel. 

Keseimbangan ini memberi negara-negara Arab Teluk Persia ruang untuk bermanuver, bahkan saat mereka menentang Teheran secara retoris. Saat ini, perhitungan itu telah berubah. Gencatan senjata yang didukung Trump mungkin telah menghentikan bentrokan terburuk, tetapi juga menggarisbawahi seberapa dekat Israel dengan pembentukan kembali wilayah tersebut secara sepihak. 

Kemenangan Israel akan membongkar keseimbangan yang ada dan mengangkat Tel Aviv sebagai satu-satunya kekuatan paling hegemon di wilayah tersebut. Sebagai gantinya akan muncul negara pendudukan yang berani bertindak tanpa hukuman. 

Ketahanan Iran bukan hanya preferensi strategis – itu adalah kebutuhan untuk melestarikan sisa-sisa terakhir agensi Arab di wilayah tersebut. Hal ini menimbulkan ancaman langsung terhadap negara-negara tetangga. Yordania menghadapi momok aneksasi Tepi Barat dan potensi arus pengungsi massal dari Gaza. 

Mesir khawatir dengan kemungkinan warga Palestina didorong ke Sinai, sebuah skenario yang oleh Presiden Abdel Fattah el-Sisi disebut sebagai garis merah. Secara regional, melemahkan Iran akan mengurangi kemampuan Teheran untuk mendanai dan mempersenjatai faksi-faksi perlawanan Palestina, sehingga mengurangi kebutuhan Israel dan barat akan mediasi Mesir – dan Qatar – dalam konflik di masa mendatang. 

Mesir bergantung pada gas Israel, yang menyumbang sekitar 15–20 persen dari konsumsinya.
Selama perang terakhir dengan Iran, Tel Aviv menghentikan pasokan ke Mesir setelah menutup ladang gas Leviathan dan Kreish.

Ini menyebabkan pabrik-pabrik Mesir kehabisan bahan bakar. Dengan cara ini, Mesir mungkin terpaksa bernegosiasi dari posisi yang lebih lemah dalam masalah perbatasan, energi, dan pengaturan keamanan.

Lebanon tetap berada di bawah ancaman provokasi Israel yang terus-menerus, dengan serangan Israel terhadap negara itu meningkat selama perang dengan Iran. Bukan rahasia lagi Tel Aviv telah lama bermimpi mencaplok wilayah Lebanon untuk mengakses Sungai Litani, dan mengapa berhenti di situ, di mana semua hambatan telah disingkirkan?

Suriah telah menyaksikan pendudukan sebagian besar wilayah selatannya oleh pasukan pendudukan Israel, dengan laporan lapangan yang mengonfirmasi Tel Aviv telah meluas hingga mencakup seluruh Dataran Tinggi Golan (sekitar 1.200 km⊃2;) ditambah sekitar 500 km⊃2; di Suriah barat daya. 

Pasukan Israel juga telah menguasai Bendungan Mantara, sumber air utama Quneitra, yang memberi mereka keuntungan strategis penting dalam menghadapi potensi ancaman apa pun.
Lebih kritis lagi, negara-negara Teluk akan kehilangan relevansi strategis mereka. Jika Iran dinetralkan, Washington tidak lagi membutuhkan Saudi, Emirat, atau Qatar untuk menahan Teheran

Kegunaan mereka sebagai mitra strategis terkikis. Penggantinya adalah poros kekuatan AS-Israel baru di mana negara-negara Teluk Persia hanyalah klien, bukan mitra.
Pengaruh mereka di Washington akan anjlok, begitu pula kemampuan mereka untuk memperoleh jaminan keamanan, kesepakatan senjata, atau dukungan diplomatik.

Pencegahan dan Dominasi 
Perang di Gaza dan eskalasi Israel-Iran telah memaksa penilaian ulang yang serius di ibu kota Teluk Persia.  Sementara negara-negara ini telah lama memandang Iran sebagai saingan dan ancaman, momok supremasi Israel telah mengungkap nilai pencegahan Teheran

Kapasitas Iran untuk mempersenjatai faksi-faksi perlawanan, menantang dominasi AS, dan mengganggu ekspansi Israel memberi negara-negara Arab ruang untuk bernapas. 
Tanpa itu, pilihan mereka menyempit secara dramatis.

Inilah sebabnya, di balik pintu tertutup, banyak pejabat Teluk sekarang diam-diam berharap untuk hasil yang mempertahankan peran Iran.  Bukan karena mereka mengagumi Teheran, tetapi karena mereka takut masa depan yang ditentukan oleh Tel Aviv. 

Israel yang melemah - yang dikekang oleh Poros Perlawanan yang tangguh - memastikan relevansi dan daya tawar yang berkelanjutan bagi monarki Arab. Memang, beberapa analis Teluk telah memperingatkan perintah pasca-gencatan senjata dapat menandai berakhirnya kemerdekaan strategis Arab. 

Gelombang normalisasi dengan Israel lewat Abraham Accor, yang dulunya dilihat sebagai kekuatan pelindung ekonomi, sekarang dilihat sebagai beban.  Sentimen ini semakin umum di kalangan elite Arab, yang sekarang melihat keseimbangan - bukan dominasi - sebagai satu-satunya jalan menuju keamanan.

Menariknya, pemahaman baru ini dapat mengantarkan pada perubahan strategis dari upaya mencari perlindungan AS. Para penguasa Teluk terdorong memperkuat kemitraan dengan Tiongkok dan Rusia untuk membantu menerapkan pengaturan keamanan regional yang baru. 

Rekonsiliasi Saudi-Iran yang ditengahi Beijing, bagaimanapun juga, menghasilkan perdamaian yang sukses dan langgeng antara para pesaing regional, yang tidak luput dari perhatian ibu kota Arab. 
Itu adalah kesepakatan yang tidak dapat dan tidak akan pernah dicari oleh Washington.

Dunia Arab menahan napas saat Iran melancarkan serangan rudal balistik balasan yang menargetkan Pangkalan Udara Al-Udeid di Qatar – instalasi militer terbesar Washington di Teluk Persia dan markas besar Komando Pusat AS (CENTCOM). Serangan yang dijuluki Iran sebagai ‘Operasi Kabar Gembira Kemenangan,’ menandai eskalasi yang signifikan dan mengungkap seberapa cepat negara-negara Teluk – terutama yang menampung pasukan AS – dapat ditarik ke dalam perang langsung.

Pada momen pasca-gencatan senjata ini, garis patahan sebenarnya di Asia Barat tidak lagi hanya Iran versus negara-negara Teluk lainnya.  Hal ini terjadi antara mereka yang menginginkan kawasan multipolar, dengan ruang bagi otonomi Arab, dan mereka yang menginginkan kawasan tersebut diperintah dari Tel Aviv.

Bagi sekutu Arab Washington, kebenaran yang tidak mengenakkan adalah, membantu Iran bertahan lebih lama mungkin merupakan perlindungan terakhir mereka terhadap superioritas Israel. (TribunTrends.com/ ABS) 

 

 

Sumber: Tribun Jogja
Tags:
IranIsraelDonald TrumpBenjamin NetanyahuAmerika SerikatWashingtonTeheran
Rekomendasi untuk Anda
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved