Breaking News:

Kisah Pierre Tendean, Tewas dalam Gerakan 30 September di Usia 26 Tahun, Ternyata Salah Tangkap!

Pasukan Cakrabirawa yang ditugaskan untuk menculik Jenderal AH Nasution dalam G30S 1965 malah menangkap Pierre Tendean.

Editor: Amir M
Wikimedia
PIERRE TENDEAN - Pierre Tendean, Pahlawan Revolusi Indonesia yang tewas dalam G30S 1965. 

TRIBUNTRENDS.COM - Kapten Pierre Tendean yang tewas dalam G30S 1965 ternyata merupakan korban salah tangkap.

Pasukan Cakrabirawa yang ditugaskan untuk menculik Jenderal AH Nasution malah menangkap Pierre Tendean, namun akhirnya tetap dieksekusi.

Seperti apa kisah lengkapnya?

Kapten Pierre Tendean adalah salah satu Pahlawan Revolusi yang gugur dalam peristiwa Gerakan 30 September atau G30S pada tahun 1965.

Saat itu Kapten Pierre Tendean baru berusia 26 tahun dan menjabat sebagai ajudan Jenderal AH Nasution yang saat itu merupakan Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan sekaligus Kepala Staf Angkatan Bersenjata.

Pierre menjadi korban keganasan pasukan Cakrabirawa, meskipun bukan merupakan target penculikan.

Pada awalnya, pasukan pemberontak tersebut ditugaskan untuk menculik Jenderal AH Nasution, yang kala itu menjabat Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan sekaligus Kepala Staf Angkatan Bersenjata.

Tetapi Pierre yang merupakan ajudan Jenderal AH Nasution dengan gagah berani melindungi pimpinannya dan mengaku bahwa dialah sang jenderal.

Perwira TNI berdarah Prancis-Minahasa itu pun lalu dibawa dan disekap di Lubang Buaya.

Namun, mengapa pasukan Cakrabirawa tidak mengenali wajah Jenderal AH Nasution dan tetap menghabisi Pierre meski salah tangkap?

Pasukan Cakrabirawa salah tangkap Pierre Tendean

Dikutip dari Buku Biografi Pierre Tendean berjudul Sang Patriot (2019), pada tanggal 1 Oktober pukul 03.00 WIB, Letnan Doel Arif dari Pasopati memberikan instruksi terakhir kepada tujuh sub-unit sebelum menangkap para jenderal.

Unit satuan yang bertugas menculik Jenderal AH Nasution dipimpin oleh Pembantu Letnan Dua Jaharup, dari Resimen Cakrabirawa.

Pasukan ini terdiri dari satu regu Kawal Kehormatan Cakrabirawa, satu peleton Batalyon 530/Para Brawijaya, satu peleton Batalyon 454/Para Diponegoro, satu peleton Pasukan Gerak Cepat, dan satu peleton Sukwan Pemuda Rakyat.

Menurut pengakuan Hamdan Mansyur, kolega Pierre yang juga merupakan ajudan Jenderal AH Nasution dari kepolisian, tentara Cakrabirawa tersebut adalah gabungan dari beberapa batalyon dan belum lama ditugaskan di Jakarta.

Mereka berfokus pada pengawalan presiden, sehingga kurang familiar dengan wajah para petinggi Angkatan Darat, termasuk Jenderal AH Nasution.

Hamdan juga menyatakan, sebetulnya saat Pierre disergap, dia mendengar ajudan termuda AH Nasution ini berkata bahwa dirinya bukan sang jenderal.

"Saya ajudan Nasution" ujar Pierre saat itu.

Hamdan menuturkan, menyergap perwira tinggi TNI bukanlah tugas yang mudah, sehingga mungkin muncul rasa waswas dan gugup yang membuat anggota Cakrabirawa ingin menyelesaikan tugasnya secepat mungkin.

Kemungkinan itu yang membuat pasukan pemberontak ini akhirnya hanya mendengar kata-kata "Saya Nasution".

Baca juga: Sosok Amoroso Katamsi, Perankan Tokoh Soeharto di Film G30S/PKI, Seorang Perwira TNI, Ini Profilnya

G30S - Pierre Tendean, Pahlawan Revolusi Indonesia yang tewas dalam G30S 1965.
G30S - Pierre Tendean, Pahlawan Revolusi Indonesia yang tewas dalam G30S 1965. (Wikimedia)

Tahu bukan Jenderal Nasution

Pada akhir November hingga awal Desember 1965, Mayjen Soeharto meminta wewenang Presiden Soekarno menggunakan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk memeriksa dan mengadili para tahanan yang diduga terlibat G30S.

Salah satu tahanan itu adalah Mayor Udara Gatot Soekrisno, Komandan Pasukan Gatot Kaca yang bertugas menjaga Lubang Buaya.

Dalam persidangan, Gatot mengaku, sebenarnya dia sudah meragukan Pierre yang disebut merupakan Jenderal AH Nasution, karena tampak masih muda.

Saat diinterogasi oleh Gatot, Pierre mengaku hanyalah seseorang yang bertugas sebagai tukang genset di kediaman Jenderal Nasution.

Namun, sosok Pierre yang sebenarnya akhirnya terungkap dan diketahui oleh para pasukan yang berjaga di Lubang Buaya.

Menurut pengakuan Sersan Mayor Boengkoes, yang bertugas sebagai penculik Mayjen M.T. Haryono, dia melihat seorang perwira muda sedang diinterogasi oleh anggota Pemuda Rakyat.

Situasi interogasi itu dipenuhi luapan kemarahan para anggota pasukan, karena menyadari telah salah menangkap orang, lanjut Boengkoes.

Pierre yang memiliki paras seperti orang asing menjadi penyebab kesadaran akan kekeliruan tersebut. 

Namun, kekeliruan itu justru membuat mereka semakin marah.

"Oh, ini si Londo (istilah sebutan bagi warga asing) yang mengaku-aku Jenderal Nasution," teriak mereka yang didengar Boengkoes.

Dia menambahkan, mereka sempat mengancam Pierre untuk memberitahukan posisi Jenderal Nasution, tetapi dirinya tidak mendengar apa respons dari perwira muda tersebut.

Pada akhirnya, Pierre Tendean tetap disekap dan dibunuh oleh seorang anggota Pemuda Rakyat bernama Robertus Djukardy, menurut pengakuan Boengkoes.

Baca juga: Momen Menegangkan Adik Soeharto Lindungi Ibu Tien saat Tragedi G30S/PKI, Bawa 2 Senjata Sekaligus

Profil Pierre Tendean

Masykuri dalam buku Pierre Tendean (1983) menggambarkan sosok pahlawan berparas tampan ini.

Kapten Pierre Tendean dilahirkan di rumah sakit CBZ (R.S. Cipto Mangunkusumo) Jakarta, pada tanggal 21 Februari 1939.

Ia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara sekaligus putera laki-laki satu-satunya dari keluarga Dr. A.L. Tendean, seorang dokter jiwa asal Minahasa.

Sang ibu berdarah Belanda-Perancis yang memberinya nama lengkap Pierre Andries Tendean.

Sementara kakak Pierre Tendean bernama Mitze Farre dan adiknya bernama Rooswidiati.

Semasa kecil hidupnya berpindah-pindah mengikuti pekerjaan sang ayah.

Pada masa perang gerilya, keluarga mereka membantu para pemuda dengan memberi obat-obatan secara sembunyi-sembunyi.

Ia bersekolah dengan baik dan bercita-cita menjadi seorang perwira militer dengan memasuki Akademi Militer Nasional (AMN).

Keinginannya sempat ditolak keluarga yang menginginkan putra mereka untuk meneruskan jejak sang ayah, terlebih Pierre Tendean adalah putra satu-satunya.

Namun pada akhirnya ia berhasil diterima di Akademi Militer Nasional dan mengambil jurusan teknik.

Wajahnya yang tampan membuatnya dijuluki Robert Wagner dari Bumi Panorama, serta dipanggil "patona" oleh para seniornya di akademi.

Pada tahun 1962, Pierre Tendean lulus dengan nilai yang sangat memuaskan dan dimulailah karirnya di dunia militer.

Setelah lulus Letda Pierre Tendean bertugas sebagai Komandan Peleton pada Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II Bukit Barisan, di Medan.

Pada tahun 1963, ia berkesempatan masuk ke Sekolah Intelijen di Bogor, dan kemudian menjalankan tugas intelijen di berbagai daerah.

Pierre Tendean sangat menikmati aktivitasnya di garis depan, sementara kedua orang tuanya begitu khawatir dengan keselamatan putra semata wayangnya.

Atas usaha orang tuanya, ia kemudian ditarik ke garis belakang dan ditugaskan sebagai ajudan Jenderal A.H. Nasution.

Pierre Tendean diangkat sebagai ajudan termuda Jenderal A.H. Nasution untuk menggantikan Kapten Manulang yang gugur dalam menjalankan tugasnya di Kongo.

Jabatan itulah yang diemban Kapten Pierre Tendean dengan penuh tanggung jawab hingga akhir hayatnya.

(KOMPAS.com/ Chella Defa Anjelina)

Artikel ini telah tayang di KOMPAS.com

Sumber: Kompas.com
Tags:
Pierre TendeanCakrabirawaAH Nasution
Rekomendasi untuk Anda
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved