Pilpres 2024

JANJI Kaesang Pangarep Jika Gibran Batal Jadi Cawapres, PSI Tetap Dukung Prabowo: 'Kita Gak Berubah'

Editor: Monalisa
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kaesang janji PSI akan tetap dukung Prabowo Subianto meski nantinya Gibran terancam batal jadi cawapres

TRIBUNTRENDS.COM - Kaesang Pangarep, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia atau PSI pastikan akan terus dukung Prabowo Subianto.

Anak bungsu Presiden Jokowi ini mengaku jika sang kakak, Gibran Rakabuming Raka batal jadi cawapres, PSI akan tetap dukung Prabowo Subianto.

Kaesang Pangarep memastikan, PSI kan tetap berada di Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Baca juga: SINDIR Jokowi Tak Konsisten, PDIP Ungkit Pernyataan Presiden Soal Pemimpin Berambut Putih: Dicatat!

Kaesang Pangarep ajak Gibran Rakabuming gabung PSI (Kolase TribunTrends)

“Enggak apa-apa, kita tetap di KIM.

Mau (bacawapres) berubah, enggak berubah, kita tetap (bertahan),” ujar Kaesang setelah mengunjungi posko relawan Jokowi, Timbul Sehati Indonesia, Jalan Penjernihan Dalam, Bendungan Hilir, Jakarta, Kamis (2/11/2023).

Bahkan Kaesang menyebut jika Partainya sudah berkomitmen bakal mendukung Prabowo di Pilpres 2024 mendatang.

“Enggak apa-apa, kita sudah berkomitmen dengan Prabowo,” putra Presiden Joko Widodo itu.

Diketahui saat ini Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tengah melakukan pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik para hakim MK soal keputusan uji materi perkara 90/PUU-XXI/2023 soal syarat usia capres cawapres.

Salah satu yang ditelisik adalah potensi konflik kepentingan Ketua MK Anwar Usman yang ikut ambil keputusan dalam perkara itu.

Anwar Usman merupakan adik ipar Presiden Joko Widodo, paman ipar Gibran Rakabuming.

Di sisi lain, uji materi itu diajukan oleh pengagum Gibran, dengan tujuan agar Gibran bisa maju di Pilpres 2024.

Nama Gibran bahkan tertulis secara eksplisit pada dokumen uji materi yang diajukan.

Baca juga: Gibran Diminta Mundur dari PDIP, Kaesang Ajak Masuk PSI, Bocorkan Jawaban Sang Kakak: Ya Begitulah

Sidang etik pun itu dianggap berpotensi membatalkan pencalonan Gibran sebagai bakal RI-2 dari KIM.

Diketahui berdasarkan Berdasarkan Pasal 17 ayat (5) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim atau panitera wajib mengundurkan diri ketika punya kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

Bila terbukti terjadi pelanggaran atas klausul tersebut, hakim atau panitera dimaksud dapat dikenai sanksi administratif atau dipidana.

Kemudian, putusan perkaranya pun dinyatakan tidak sah. Ketika putusan dinyatakan tidak sah, perkaranya akan diperiksa kembali oleh majelis hakim yang berbeda.

MKMK Klaim Sudah Kantongi Cukup Bukti, Gibran Terancam Batal jadi Cawapres? 'Melanggar Kode Etik'

Sementara itu, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) mengklaim sudah mengantongi bukti kuat dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi.

Seperti yang diketahui, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 (Putusan 90/2023) terkait batas usia capres dan cawapres menimbulkan kegaduhan.

Pakar Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof Dr M Fauzan SH MH menyebut MKMK bisa membatalkan Putusan MK nomor 90 tahun 2023.

"Jika putusan MKMK ternyata para hakim terbukti dengan sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran kode etik, maka dalam perspektif moral, putusan yang telah diambil tidak memiliki legitimasi secara moral, karena diputus oleh hakim yang telah terbukti melanggar kode etik," kata Fauzan dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Kamis (2/11).

Atas putusan yang telah diambil lanjut Fauzan maka ada beberapa kemungkinan, pertama tetap berlaku sesuai dengan hukum tata negara positif (yang sedang berlaku), kedua perlu diingat bahwa di atas hukum sebenarnya ada moralitas, maka hukum yang baik tentunya harus memperhatikan aspek moralitas, jika ini yang menjadi pertimbangan, bisa saja MKMK ada kemungkinan keluar dari pakem hukum tata negara positif dan menyatakan bahwa putusan yang diputus oleh hakim yang telah terbukti melanggar kode etik putusannya tidak mengikat.

 

"Jika ini yang terjadi, maka akan ada dinamika hukum ketatanegaraan kita, dan pasti ini menimbulkan diskursus juga," kata Fauzan.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto ini juga menjelaskan apabila merujuk pada hukum tata negara positif, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 24C UUD 1945, maka apapun keputusan MK termasuk di dalamnya Putusan Nomor 90 tahun 2023 terlepas suka atau tidak, maka sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum, maka putusan tersebut langsung berlaku dan tidak ada upaya hukum.

Akan tetapi kata Fauzan terkait dengan adanya laporan pelanggaran kode etik ke MKMK, maka sanksi yang dapat dijatuhkan sesuai dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang MKMK hanya ada sanksi teguran lisan, tertulis dan pemberhentian sebagai hakim konstitusi.

"MKMK memang hanya memeriksa dan memutus terkait dengan pelanggaran kode etik, dan perlu diketahui bahwa tupoksi MKMK adalah menjaga keluhuran dan martabat hakim MK.

Itulah sebabnya perlu ada kajian kembali mengenai keputusan MK yang final dan mengikat, ke depan menurut saya jika ternyata putusan MK dijatuhkan oleh hakim yang terbukti melanggar kode etik.

Maka kekuatan putusan MK yang bersifat final dan mengikat dapat dibatalkan, dan pembatalannya ada dua cara, pertama oleh MK sendiri atas perintah MKMK atau oleh MKMK yang memeriksa dan memutus laporan adanya pelanggaran kode etik," kata Fauzan.

Sementara itu Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie bukti-bukti yang dibutuhkan MKMK dalam mengungkap kasus dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim sudah lengkap.

"Itu kan sudah saya bilang waktu di sidang. Kami sebenarnya sudah lengkap, bukti-bukti sudah lengkap," ucap Jimly.

Meski demikian, kata Jimly, Majelis Kehormatan tetap harus mengadakan sidang, meski bukti-bukti sudah lengkap.

Ia menjelaskan, tidak menutup kemungkinan ada temuan-temuan baru terkait dengan dugaan pelanggaran etik berkenaan putusan 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat batas minimal usia capres-cawapres.

"Cuma kan kita tidak bisa menghindar dari memeriksa, mengadakan sidang untuk para pelapor yang belum kita dengar," kata Jimly.

"Siapa tahu ada hal-hal baru," tuturnya.

Baca juga: Surat untuk Gibran, Diminta Mundur dan Kembalikan KTA PDIP, Putra Jokowi Jawab Santai: Nanti Ya

Gibran (KompasTV)

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) juga menemukan adanya dugaan kebohongan Ketua MK Anwar Usman.

Temuan dugaan itu, jelas Jimly, terkait Anwar Usman yang berbohong soal alasannya tak ikut memutus tiga perkara usia batas capres-cawapres yang belakangan ditolak MK.

"Tadi ada yang baru soal kebohongan. Ini hal yang baru," kata Jimly Asshiddiqie.

"Kan waktu itu alasannya kenapa tidak hadir (rapat permusyawaratan hakim) ada dua versi, ada yang bilang karena (Anwar) menyadari ada konflik kepentingan, tapi ada alasan yang kedua karena sakit. Ini kan pasti salah satu benar, dan kalau satu benar berarti satunya tidak benar," sambungnya.

Kronologi mangkirnya Anwar Usman dalam RPH putusan 3 perkara syarat usia capres cawapres itu sebelumnya diungkap oleh hakim konstitusi Arief Hidayat lewat dissenting opinion.

Ketika itu, 19 September 2023, 8 dari 9 majelis hakim konstitusi menggelar RPH membahas putusan perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023.

Tiga perkara ini disidangkan dengan intens sejak 1 Mei 2023. Majelis hakim mendengar keterangan ahli serta pihak terkait untuk perkara ini. RPH dipimpin oleh Wakil Ketua MK dan Arief. Dalam RPH itu mereka menanyakan mengapa Anwar Usman absen.

"Wakil Ketua kala itu menyampaikan bahwa ketidakhadiran ketua dikarenakan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan," kata hakim konstitusi Arief Hidayat dalam dissenting-nya.

"Disebabkan, isu hukum yang diputus berkaitan erat dengan syarat usia minimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden di mana kerabat Ketua berpotensi diusulkan dalam kontestasi Pemilu Presiden 2024 sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh salah satu partai politik, sehingga Ketua memilih untuk tidak ikut dalam membahas dan memutus ketiga perkara a quo," tambah Arief.

Tanpa Anwar Usman, RPH menghasilkan putusan tegas dan konsisten dengan sikap Mahkamah dalam putusan-putusan terdahulu berkaitan dengan syarat usia jabatan publik, yakni urusan itu merupakan ranah pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah). MK pun menolak ketiga gugatan itu.

Namun, dalam RPH berikutnya dalam perkara lain yang masih berkaitan syarat usia capres cawapres, menurut Arief, Anwar Usman menjelaskan ia tak ikut memutus perkara karena alasan kesehatan.

Dengan kehadiran Anwar dalam RPH kali ini sikap MK mendadak berbalik 180 derajat, menyatakan kepala daerah dan anggota legislatif pada semua tingkatan berhak maju sebagai capres-cawapres meski belum 40 tahun, lewat Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial.

Artikel ini diolah dari TribunSolo.com dan Tribunnews.com