Khazanah Isl
Bekas Pembalut Wanita Ada Bercak Darah Kotor, Dicuci Dulu atau Langsung Dibuang? Simak Kata Ulama
Bekas pembalut wanita ada bercak darah kotor haid, sebaiknya dicuci dulu atau langsung dibuang? Simak kata ulama
Editor: Agung Santoso
TRIBUNTRENDS.COM - Bekas pembalut wanita ada bercak darah kotor haid, sebaiknya dicuci dulu atau langsung dibuang? Simak kata ulama ....
Bagi para muslimah, cara mereka membuang sisa pembalut yang digunakan saat haid belum banyak dipahami.
Bahkan ada anggapan harus mencuci pembalut yang bekas dipakai agar tidak dimakan setan karena berlumuran darah.
Apakah benar seperti itu? Mengingat darah haid merupakan najis besar yang harus segera dibersihkan agar bisa sah melaksanakan ibadah setelah suci.
Karena pembalut yang sudah dipakai, tidak boleh dibuang sembarangan, agar najis dari darah tidak terciprat di tempat-tempat lain.
Rupanya di masa dahulu, belum ada pembalut sekali pakai yang ketika sudah penuh langsung dibuang.
Mereka menggunakan kain yang nantinya harus dicuci dan digunakan kembali tidak langsung di buang.

Menstruasi atau haid merupakan bagian dari siklus biologis wanita, termasuk muslimah.
Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, pembalut yang digunakan perempuan ketika haid terbuat dari kain khusus yang disebut izaar.
Kain bawahan ini menutupi bagian tubuh dari pusar ke bawah.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Apabila salah seorang di antara kami sedang haid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk memakai kain izaar (kain bawahan menutupi bagian tubuh dari pusar ke bawah).” (HR. Muslim)

Lalu bagaimana mencucinya?
Berikut ini cara mencuci pembalut wanita bekas haid menurut Islam
Dari Abu Said al-Khudri, bahwa sahabat bertanya:
“Bolehkah kami berwudhu dengan air di sumur budha’ah, di sumur ini menjadi tempat pembuangan bekas haid, bangkai anjing, dan bangkai binatang?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi jawaban dengan kaidah:
إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
“Sesungguhnya air itu suci, dan tidak bisa berubah jadi najis oleh sesuatu apapun.” (HR. An-Nasai, Turmudzi, Abu Daud dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
Yang dimaksud ‘bekas haid’ (dalam hadis diungkapkan dengan : al-hiyadh) adalah pembalut yang digunakan ketika haid, sebagaimana penjelasan al-Mubarokfuri ketika menjelaskan hadis ini di Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi.
Teks hadis ini menunjukkan bahwa para sahabat membuang pembalut dalam kondisi masih penuh dengan darah haid.
Karena para sahabat yang menanyakan sumur budha’ah meyakini bahwa air sumur itu bercampur dengan darah haid, sehingga mereka menanyakan status kesucian air itu.
Tentang sumur budha’ah, Imam Abu Daud, membawakan keterangan dari Qutaibah bin Sa’d (wafat 240 H) yang pernah mengunjungi sumur ini.
Beliau pernah bertanya kepada orang yang tinggal dekat dengan sumur budha’ah tentang dalamnya? Beliau menjawab:
أَكْثَرُ مَا يَكُونُ فِيهَا الْمَاءُ إِلَى الْعَانَةِ، فَإِذَا نَقَصَ، دُونَ الْعَوْرَةِ
“Maksimal sampai bulu kemaluan dan jika airnya sedikit di bawah kemaluan.”
Imam Abu Daud (wafat 275 H), penulis kitab Sunan Abu Daud, juga pernah mengunjungi sumur ini.
Beliau mengukur diameter sumur budha’ah dengan selendangnya, dan beliau ukur.
Ternyata panjangnya 6 hasta (sekitar 30 m).
Abu Daud bertanya kepada penjaga pintu taman tempat sumur tersebut:
“Apakah bangunan sumur ini telah diubah dari sebelumnya?.” Juru kunci itu menjawab: “Belum berubah.” Abu Daud melanjutkan, “Saya lihat warna airnya telah berubah.” (Sunan Abu Daud, Hadis no. 67).
Dalam Fatwa Islam no. 104456 ditegaskan, bahwa para sahabat bukan dengan sengaja membuang benda-benda najis tersebut ke sumur itu.
Tapi sumur ini bersambung dengan saluran pembuangan di kota Madinah. Sehingga terkadang ada bangkai dan bekas pembalut haid yang mengalir ke sana.
Karena airnya sangat banyak, najis yang masuk ke sumur itu, tidak sampai mengubah bau, rasa dan warnanya. (Tribunnewsmaker.com/ Sinta Manila)